POLITISI partai umumnya paham tentang batas kesetiaan terhadap partai dan kesetiaan terhadap negara. Mereka tahu persis bahwa kesetiaan terhadap partai berakhir pada saat mereka diangkat menjadi pejabat negara.
Tetapi apakah pikiran agung ini dilaksanakan dengan konsekuen dalam praktik? Itu pertanyaan yang menggoda. Menggoda karena dalam praktik, bagi-bagi kekuasaan adalah agenda terpenting dari semua partai yang berkoalisi dalam pemilihan presiden mendatang. Bahkan, demi kepentingan kursi kabinet, koalisi menjadi ikatan yang sangat pragmatis dan longgar. Perbedaan ideologi dan platform tidak menghalangi nafsu berkoalisi agar memperoleh jatah kursi kabinet.
Karena koalisi yang terlalu diwarnai semangat pragmatisme kursi kabinet itulah, kita perlu mengingatkan kembali keharusan untuk menjaga kemurnian departemen dari nafsu kekuasaan partai-partai politik.
Bahwa tujuan partai politik adalah memperoleh kekuasaan tidak ada yang membantah. Bahwa mereka berkoalisi untuk membagi-bagi kekuasaan juga tidak ada yang menolak. Akan tetapi, yang sangat berbahaya adalah ketika dalam sistem multipartai yang mulai melembaga di Tanah Air, dilembagakan juga portofolio departemen ke dalam portofolio parpol. Misalnya, departemen A pasti milik partai A dan departemen B selamanya milik partai B dan seterusnya.
Departemen atau kementerian adalah aparatur negara yang bekerja melayani kepentingan bangsa dan negara. Karena itu, departemen haruslah dikendalikan para menteri yang tidak bias mengemban kepentingan partai.
Secara ideologis, mungkin kita akan bersilat lidah bahwa partai-partai politik peserta pemilu adalah partai yang diakui keabsahannya oleh negara sehingga tidak ada lagi perdebatan tentang konflik kepentingan ideologis antara partai dan negara.
Akan tetapi, aspek pragmatisme partai patut diwaspadai. Yang paling ditakutkan adalah ketika partai tertentu menjadikan departemen tertentu sebagai lembaga untuk melayani kepentingan partainya. Ketakutan yang selalu disuarakan adalah ketika departemen dijadikan partai tertentu sebagai cash cow, mesin uang. Karena sebagaimana diketahui, partai politik adalah lembaga yang melibatkan banyak uang, tetapi sangat tidak transparan dan karena itu sangat tidak akuntabel.
Ketika negara tidak lagi memiliki GBHN, menjadikan departemen sebagai portofolio partai politik tertentu menyebabkan urusan bangsa dan negara menjadi sangat ad hoc sifatnya. Departemen kehilangan arah kebijakan jangka panjang.
Dalam kondisi seperti ini, keberanian dan kenegarawanan seorang presiden terpilih adalah hal penting. Karena dialah yang akan menjaga kemurnian dan keagungan departemen dalam melayani kepentingan publik.
Memang, ada sistem check and balance. Ada parlemen yang mengawasi arah dan isi kebijakan departemen. Ada lembaga-lembaga negara yang mengaudit. Tetapi ketika sebuah koalisi yang dibangun atas dasar pragmatisme memenangi pemilihan presiden, wilayah kepentingan umum dan wilayah kepentingan partai sulit dipisahkan. Gampang dibicarakan, tetapi sulit dalam praktik.
Kalau pembagian kursi adalah hakikat yang tak terelakkan dari power sharing, sekurang-kurangnya harus dibatasi dengan tegas bahwa terhadap departemen tertentu yang sangat strategis bagi kepentingan bangsa dan negara tidak boleh diserahkan menjadi portofolio partai.
Itulah kementerian bebas parpol. Para petinggi parpol mohon maklum.
Sumber : mediaindonesia.com
Tetapi apakah pikiran agung ini dilaksanakan dengan konsekuen dalam praktik? Itu pertanyaan yang menggoda. Menggoda karena dalam praktik, bagi-bagi kekuasaan adalah agenda terpenting dari semua partai yang berkoalisi dalam pemilihan presiden mendatang. Bahkan, demi kepentingan kursi kabinet, koalisi menjadi ikatan yang sangat pragmatis dan longgar. Perbedaan ideologi dan platform tidak menghalangi nafsu berkoalisi agar memperoleh jatah kursi kabinet.
Karena koalisi yang terlalu diwarnai semangat pragmatisme kursi kabinet itulah, kita perlu mengingatkan kembali keharusan untuk menjaga kemurnian departemen dari nafsu kekuasaan partai-partai politik.
Bahwa tujuan partai politik adalah memperoleh kekuasaan tidak ada yang membantah. Bahwa mereka berkoalisi untuk membagi-bagi kekuasaan juga tidak ada yang menolak. Akan tetapi, yang sangat berbahaya adalah ketika dalam sistem multipartai yang mulai melembaga di Tanah Air, dilembagakan juga portofolio departemen ke dalam portofolio parpol. Misalnya, departemen A pasti milik partai A dan departemen B selamanya milik partai B dan seterusnya.
Departemen atau kementerian adalah aparatur negara yang bekerja melayani kepentingan bangsa dan negara. Karena itu, departemen haruslah dikendalikan para menteri yang tidak bias mengemban kepentingan partai.
Secara ideologis, mungkin kita akan bersilat lidah bahwa partai-partai politik peserta pemilu adalah partai yang diakui keabsahannya oleh negara sehingga tidak ada lagi perdebatan tentang konflik kepentingan ideologis antara partai dan negara.
Akan tetapi, aspek pragmatisme partai patut diwaspadai. Yang paling ditakutkan adalah ketika partai tertentu menjadikan departemen tertentu sebagai lembaga untuk melayani kepentingan partainya. Ketakutan yang selalu disuarakan adalah ketika departemen dijadikan partai tertentu sebagai cash cow, mesin uang. Karena sebagaimana diketahui, partai politik adalah lembaga yang melibatkan banyak uang, tetapi sangat tidak transparan dan karena itu sangat tidak akuntabel.
Ketika negara tidak lagi memiliki GBHN, menjadikan departemen sebagai portofolio partai politik tertentu menyebabkan urusan bangsa dan negara menjadi sangat ad hoc sifatnya. Departemen kehilangan arah kebijakan jangka panjang.
Dalam kondisi seperti ini, keberanian dan kenegarawanan seorang presiden terpilih adalah hal penting. Karena dialah yang akan menjaga kemurnian dan keagungan departemen dalam melayani kepentingan publik.
Memang, ada sistem check and balance. Ada parlemen yang mengawasi arah dan isi kebijakan departemen. Ada lembaga-lembaga negara yang mengaudit. Tetapi ketika sebuah koalisi yang dibangun atas dasar pragmatisme memenangi pemilihan presiden, wilayah kepentingan umum dan wilayah kepentingan partai sulit dipisahkan. Gampang dibicarakan, tetapi sulit dalam praktik.
Kalau pembagian kursi adalah hakikat yang tak terelakkan dari power sharing, sekurang-kurangnya harus dibatasi dengan tegas bahwa terhadap departemen tertentu yang sangat strategis bagi kepentingan bangsa dan negara tidak boleh diserahkan menjadi portofolio partai.
Itulah kementerian bebas parpol. Para petinggi parpol mohon maklum.
Sumber : mediaindonesia.com
Comments :
0 komentar to “Kementerian Bebas Parpol”
Posting Komentar