KOALISI besar yang digagas di tengah skeptisisme publik yang tidak kalah besar akhirnya dideklarasikan juga. Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Gerindra menjadi pilar utama kesepakatan itu. Keempat partai itu menguasai sekitar 37% kursi di DPR.
Koalisi besar yang hanya menyepakati kerja sama di parlemen itu juga menggandeng beberapa partai kecil yang tidak lolos ambang batas 2,5% kursi di DPR.
Karena hanya bersepakat di parlemen, sesungguhnya inilah koalisi besar setengah hati. Karena setengah hati, risikonya besar. Besar karena yang dipertaruhkan adalah kredibilitas politik itu sendiri.
Dengan hanya berkoalisi di parlemen berarti dari koalisi besar itu sangatlah mungkin akan hadir lebih dari satu calon presiden. Dengan demikian, pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah dua atau lebih calon presiden yang disodorkan oleh anggota koalisi masih mencerminkan atau bagian dari kesepakatan substantif koalisi? Bukankah itu berarti mencerminkan kegagalan koalisi itu sendiri?
Kalau cuma bersepakat di parlemen, koalisi besar kehilangan harapan yang besar pula. Karena ini, kalau boleh disebut koalisi setengah hati, mengandung risiko yang amat besar.
Tidak semata besarnya risiko akan kalah dalam pertarungan kursi presiden, tetapi juga risiko kehilangan kredibilitas terhadap politik itu sendiri. Kredibilitas partai politik dan kredibilitas politikus juga.
Kredibilitas itulah yang terlalu mahal untuk dipertaruhkan. Karena koalisi besar itu adalah koalisi setengah hati, risiko terbesarnya adalah pengingkaran terhadap koalisi itu sendiri. Politik kita adalah pentas yang memamerkan inkonsistensi sikap secara telanjang dan tidak malu-malu. Politik dan para politisi dengan gampang berargumentasi bahwa perubahan, termasuk inkonsistensi sikap, adalah bagian yang wajar dan tidak terelakkan dari proses politik. Apologi yang mengerdilkan.
Tatkala para petinggi partai dalam koalisi besar hanya bersepakat dalam kerja sama di parlemen, itu adalah koalisi yang longgar. Longgar karena mereka tidak mau mengorbankan ego individu masing-masing. Mereka tidak mau menjadi negarawan, tetapi tetap bertahan sebagai politikus.
Egoisme individu terlihat sekali ketika mereka tidak menganggap penting survei tentang elektibilitas masing-masing yang tergolong rendah. Egoisme juga diperlihatkan pada keyakinan yang tinggi bahwa mereka selalu menjadi muara dari aspirasi rakyat dalam pencarian pemimpin dari waktu ke waktu. Seakan-akan tidak ada lagi manusia di bumi Indonesia ini yang pantas dan mampu menjadi pemimpin negeri.
Ketika politik diperankan para politikus yang tidak bisa memegang komitmen, yang tergoda oleh pragmatisme murahan, yang berkoalisi sebatas kata, politik yang memegang peran vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kehilangan nilai yang amat penting, yaitu kredibilitas. Ketika rakyat kemudian terus mencibir politik dan politikus karena inkonsistensi sikap, pertanyaan yang menyesakkan dada yakni untuk apa semua proses demokratisasi yang digulirkan dengan biaya yang sangat-sangat mahal?
Sumber : mediaindonesia.com, 02 Mei 2009 00:00 WIB
Koalisi besar yang hanya menyepakati kerja sama di parlemen itu juga menggandeng beberapa partai kecil yang tidak lolos ambang batas 2,5% kursi di DPR.
Karena hanya bersepakat di parlemen, sesungguhnya inilah koalisi besar setengah hati. Karena setengah hati, risikonya besar. Besar karena yang dipertaruhkan adalah kredibilitas politik itu sendiri.
Dengan hanya berkoalisi di parlemen berarti dari koalisi besar itu sangatlah mungkin akan hadir lebih dari satu calon presiden. Dengan demikian, pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah dua atau lebih calon presiden yang disodorkan oleh anggota koalisi masih mencerminkan atau bagian dari kesepakatan substantif koalisi? Bukankah itu berarti mencerminkan kegagalan koalisi itu sendiri?
Kalau cuma bersepakat di parlemen, koalisi besar kehilangan harapan yang besar pula. Karena ini, kalau boleh disebut koalisi setengah hati, mengandung risiko yang amat besar.
Tidak semata besarnya risiko akan kalah dalam pertarungan kursi presiden, tetapi juga risiko kehilangan kredibilitas terhadap politik itu sendiri. Kredibilitas partai politik dan kredibilitas politikus juga.
Kredibilitas itulah yang terlalu mahal untuk dipertaruhkan. Karena koalisi besar itu adalah koalisi setengah hati, risiko terbesarnya adalah pengingkaran terhadap koalisi itu sendiri. Politik kita adalah pentas yang memamerkan inkonsistensi sikap secara telanjang dan tidak malu-malu. Politik dan para politisi dengan gampang berargumentasi bahwa perubahan, termasuk inkonsistensi sikap, adalah bagian yang wajar dan tidak terelakkan dari proses politik. Apologi yang mengerdilkan.
Tatkala para petinggi partai dalam koalisi besar hanya bersepakat dalam kerja sama di parlemen, itu adalah koalisi yang longgar. Longgar karena mereka tidak mau mengorbankan ego individu masing-masing. Mereka tidak mau menjadi negarawan, tetapi tetap bertahan sebagai politikus.
Egoisme individu terlihat sekali ketika mereka tidak menganggap penting survei tentang elektibilitas masing-masing yang tergolong rendah. Egoisme juga diperlihatkan pada keyakinan yang tinggi bahwa mereka selalu menjadi muara dari aspirasi rakyat dalam pencarian pemimpin dari waktu ke waktu. Seakan-akan tidak ada lagi manusia di bumi Indonesia ini yang pantas dan mampu menjadi pemimpin negeri.
Ketika politik diperankan para politikus yang tidak bisa memegang komitmen, yang tergoda oleh pragmatisme murahan, yang berkoalisi sebatas kata, politik yang memegang peran vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kehilangan nilai yang amat penting, yaitu kredibilitas. Ketika rakyat kemudian terus mencibir politik dan politikus karena inkonsistensi sikap, pertanyaan yang menyesakkan dada yakni untuk apa semua proses demokratisasi yang digulirkan dengan biaya yang sangat-sangat mahal?
Sumber : mediaindonesia.com, 02 Mei 2009 00:00 WIB
Comments :
0 komentar to “Koalisi Besar Risiko Besar”
Posting Komentar