Ditulis oleh : Muhammad FauziMENCERMATI pasang surut Bulog seperti melihat naik turunnya kekuatan politik di tanah air. Saat kekuatan politik sentralistik, Bulog sangat powerfull. Bulog diberi kewenangan yang sangat besar, apalagi sewaktu Bulog berbentuk LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen), semua kebutuhan bahan pokok yang kita kenal dengan sembako pengelolaannya diserahkan kepada Bulog. Bulog sangat leluasa memainkan peran menjaga stabilitas harga sembako.
Di penghujung kejatuhan Presiden Soeharto, saat krisis ekonomi 1998, Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI atau nota kesepakatan) dengan lembaga keuangan IMF. IMF mengevaluasi peran Bulog yang monopolistik mengatur bahan kebutuhan pokok dan hanya tinggal beras saja. Sejak itu Bulog mengalami masa-masa penurunannya hingga terjadinya perubahan status LPND menjadi perusahaan umum (perum) pada 2003.
Memasuki era reformasi, muncul istilah Bulog bukan lagi badan yang mengurusi logistik, tetapi badan urusan perberasan. Itu karena peran Bulog yang semakin kecil, hanya mengurusi beras saja!
Namun, peran Bulog yang kecil bukan berarti mengecilkan keberadaannya dalam pentas politik. Kasus korupsi yang mencuat dan menyeret kepala Bulog saat itu menaikkan lagi nama Bulog di masyarakat, kasus Buloggate contohnya. Jelas terlihat, popularitas Bulog saat itu hanya dipandang sebagai sarang korupsi, sementara sisi fungsi strategis Bulog tidak muncul.
Kini, dengan perubahan status menjadi perum sejak 2003, Bulog menyandang dua fungsi yaitu sebagai PSO (pelayanan publik), seperti raskin, dan fungsi kegiatan komersil.
Hanya saja tuntutan perubahan ini belum didukung situasi politik nasional untuk mendukung Bulog yang ingin berubah menjadi lebih baik. Kepentingan politik lebih menonjol. Sebut saja soal impor beras. Tarik menarik penting tidaknya impor beras menjadi komoditas politik. Padahal soal impor dan tidak impor komoditas ini adalah sesuatu yang biasa terjadi. Jika memang produksi beras dalam negeri rendah, impor menjadi suatu keharusan. Sebaliknya, kalau produksi dalam negeri melimpah, jangan impor.
Untuk urusan ini, jelas Bulog menjadi korban dari tarik menarik kepentingan banyak pihak. Sebaliknya kepentingan Bulog sebagai perum justru tersingkirkan. Ketidakjelasan kepentingan ini dirasakan Dirut Perum Bulog Mustafa Abubakar saat menjabat pada Maret 2007. Semula, ia berpikir imbangan PSO dan komersil 80 persen:20 persen, ternyata lebih dari 90 persen tugas Bulog adalah PSO dan sisanya komersial.
Bisa dipahami jika perubahan dari status LPND menjadi perum tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuhkan proses dan waktu, sistem kelembagaan dan terlebih SDM-nya yang harus di-set up dari pola birokrat menjadi korporat. Karena itu kegiatan bisnis yang dijalani Bulog terlihat trial and error.
Beruntung, situasi politik mendukung manajemen baru Bulog dibawah komando Mustafa Abubakar. Mantan Irjen DKP ini mengambil sejumlah langkah untuk mengubah Bulog menjadi lebih baik. Di antaranya adalah mengevaluasi bidang komersial. Yang tidak bagus diamputasi. Untuk yang bagus dilanjutkan seperti pengolahan beras, serta upaya mengoptimalkan fungsi gudang.
Sedangkan untuk sektor PSO, Bulog melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi .Manajeman baru juga mampu menyehatkan dan meningkatkan kinerja, serta peran SDMnya.
Hasilnya, pada 2007, defisit Bulog yang semula Rp524 miliar menjadi Rp340 miliar atau turun Rp180 miliar. Pada 2008 lalu Bulog berhasil menekan defisit, bahkan mampu surplus Rp101 miliar. Pada 2007, Bulog hanya cukup impor beras 1,3 juta ton, padahal target semula 1,5 juta ton. Darui sisi pengadaan dalam negeri juga meningkat, dari 1,5 juta ton menjadi 1,76 juta ton.
Lantaran bisa menekan impor beras hingga 1,3 juta ton, kredibilitas Bulog pun mulai dipercaya. Apalagi tahun lalu, Bulog berhasil menorehkan sejarah sejak lembaga ini didirikan, yaitu zero impor atau tidak melakukan impor beras. Pencapaian ini diluar dugaan banyak pihak, karena pada 2007 masih impor, maka selama 2008 diyakini Bulog masih harus mendatangkan beras dari luar negeri. Tapi fakta berkata lain. Pengadaan beras dalam negeri justru melonjak 80 persen, menjadi 3,2 juta ton.
Bila dicermati, lonjakan pengadaaan dalam negeri ini sama artinya dengan Bulog menyalurkan dana segar hampir Rp19 triliun ke pedesaan atau petani. Bandingkan jika kita impor beras, kocek Bulog akan mengalir ke petani Vietnam dan Thailand. Sebagai ilustrasi, jika kita memakai angka multiplier untuk pedesaan 1,4, maka dana yang menggerakkan ekonomi pedesaan mencapai Rp26 triliun.
Tidak hanya petani yang diuntungkan, masyarakat konsumen pun juga diuntungkan. Tahun lalu, harga beras cenderung stabil dan masih berada dalam kisaran daya beli masyarakat. Pedagang pun juga susah berbuat curang untuk memainkan harga.
Prestasi ini ternyata sempat mencuri perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam satu kesempatan, SBY mengatakan Bulog bisa menjalankan fungsi PSO dan bisnis untuk komoditas gula dan minyak goreng secara profesional.
Tentu saja, kepercayaan pemimpin negara ini melegakan direksi dan karyawan Bulog. Dan itu bisa menjadi darah segar bagi Bulog untuk menjadi sebuah entitas bisnis menguntungkan yang berbasis sosial
Pilar Manajemen Baru
Mungkin sudah menjadi tradisi dan tabiat praktisi politik di negara ini. Banyak pihak yang mengaku-aku ikut membawa perubahan positif bagi Bulog. Para elit mengklaim sebagai buah kerja keras parpolnya atau sebaliknya. Silang saling klaim ini terdengar jelas saat kampanye pemilu legislatif belum lama ini.
Pertanyaannya, bagaimana itu semua bisa terjadi? Selain dukungan politik yang kuat, manajemen baru Bulog tampaknya juga harus diapresiasi karena mampu mengelola tujuh pilar kekuatan yang ada di lembaga pangan nasional ini.
Pilar pertama adalah Bulog sendiri dengan 26 divre seluruh Indonesia. Itu adalah sokoguru utama. Kedua, Yabinstra, Ketiga, pilar Kopelindo dan Kopel di daerah-daerah. Ini merupakan pilar pendukung kesejahteraan karyawan. Keempat, pilar Korpri.
Selanjutnya pilar Kelima, ada Sekar (Serikat karyawan) yang berkontribusi kepada warga Bulog. Keenam, ada PPBL (perhimpunan pensiunan Bulog) sebagai wadah untuk pewarisan nilai, menjaga semangat, memikirkan kesejahteraan. Dan yang ketujuh yaitu Darmawanita. Ketujuh pilar oleh manajemen baru mampu diberdayakan sehingga saling mengisi dan memperkuat Perum Bulog.
Pakaian seragam pun diubah dari semula warna putih menjadi kuning. Bukan untuk mendekati panji-panji partai tertentu, tapi menyesuaikan diri dengan warna gabah atau padi siap panen di sawah. Saat di sawah dengan seragam Bulog yang baru ini pas sekali dengan warna padi yang menguning.
Penulis : Muhammad Fauzi
Bukan tanpa alasan jika Bulog mentransformasi dirinya. Bulog kini telah menjadi sebuah entitas bisnis. Hanya saja berbeda dengan pengelolaan bisnis biasa. Selain harus menguntungkan secara bisnis, Bulog juga Mengemban fungsi sosial. Fungsi terakhir ini justru lebih berat, karena Bulog bertanggung jawab kepada masyarakat.
Sadar atas fungsi strategisnya dan tidak mau mengulangi kesalahan masa lalu, Bulog pun merubah visi. Bukan sekedar 'For a Brighter Future,' tetapi lebih fokus dengan slogan baru, Bulog Andalan Ketahanan Pangan.
Hanya saja, kita perlu renungkan kembali, apakah cita-cita Bulog sebagai ketahanan pangan saja sudah cukup. Ataukah ada mimpi lain yang lebih tinggi? Atau mungkin tidak akan ada cita-cita lagi, karena Bulog akan kembali menjadi pundi-pundi bagi kelompok elit tertentu pasca Pemilu Presiden nanti? Lantas transformasi Bulog untuk siapa? (Faw/OL-02)
Sumber : mediaindonesia.com, Jumat, 01 Mei 2009 06:08 WIB
Di penghujung kejatuhan Presiden Soeharto, saat krisis ekonomi 1998, Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI atau nota kesepakatan) dengan lembaga keuangan IMF. IMF mengevaluasi peran Bulog yang monopolistik mengatur bahan kebutuhan pokok dan hanya tinggal beras saja. Sejak itu Bulog mengalami masa-masa penurunannya hingga terjadinya perubahan status LPND menjadi perusahaan umum (perum) pada 2003.
Memasuki era reformasi, muncul istilah Bulog bukan lagi badan yang mengurusi logistik, tetapi badan urusan perberasan. Itu karena peran Bulog yang semakin kecil, hanya mengurusi beras saja!
Namun, peran Bulog yang kecil bukan berarti mengecilkan keberadaannya dalam pentas politik. Kasus korupsi yang mencuat dan menyeret kepala Bulog saat itu menaikkan lagi nama Bulog di masyarakat, kasus Buloggate contohnya. Jelas terlihat, popularitas Bulog saat itu hanya dipandang sebagai sarang korupsi, sementara sisi fungsi strategis Bulog tidak muncul.
Kini, dengan perubahan status menjadi perum sejak 2003, Bulog menyandang dua fungsi yaitu sebagai PSO (pelayanan publik), seperti raskin, dan fungsi kegiatan komersil.
Hanya saja tuntutan perubahan ini belum didukung situasi politik nasional untuk mendukung Bulog yang ingin berubah menjadi lebih baik. Kepentingan politik lebih menonjol. Sebut saja soal impor beras. Tarik menarik penting tidaknya impor beras menjadi komoditas politik. Padahal soal impor dan tidak impor komoditas ini adalah sesuatu yang biasa terjadi. Jika memang produksi beras dalam negeri rendah, impor menjadi suatu keharusan. Sebaliknya, kalau produksi dalam negeri melimpah, jangan impor.
Untuk urusan ini, jelas Bulog menjadi korban dari tarik menarik kepentingan banyak pihak. Sebaliknya kepentingan Bulog sebagai perum justru tersingkirkan. Ketidakjelasan kepentingan ini dirasakan Dirut Perum Bulog Mustafa Abubakar saat menjabat pada Maret 2007. Semula, ia berpikir imbangan PSO dan komersil 80 persen:20 persen, ternyata lebih dari 90 persen tugas Bulog adalah PSO dan sisanya komersial.
Bisa dipahami jika perubahan dari status LPND menjadi perum tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuhkan proses dan waktu, sistem kelembagaan dan terlebih SDM-nya yang harus di-set up dari pola birokrat menjadi korporat. Karena itu kegiatan bisnis yang dijalani Bulog terlihat trial and error.
Beruntung, situasi politik mendukung manajemen baru Bulog dibawah komando Mustafa Abubakar. Mantan Irjen DKP ini mengambil sejumlah langkah untuk mengubah Bulog menjadi lebih baik. Di antaranya adalah mengevaluasi bidang komersial. Yang tidak bagus diamputasi. Untuk yang bagus dilanjutkan seperti pengolahan beras, serta upaya mengoptimalkan fungsi gudang.
Sedangkan untuk sektor PSO, Bulog melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi .Manajeman baru juga mampu menyehatkan dan meningkatkan kinerja, serta peran SDMnya.
Hasilnya, pada 2007, defisit Bulog yang semula Rp524 miliar menjadi Rp340 miliar atau turun Rp180 miliar. Pada 2008 lalu Bulog berhasil menekan defisit, bahkan mampu surplus Rp101 miliar. Pada 2007, Bulog hanya cukup impor beras 1,3 juta ton, padahal target semula 1,5 juta ton. Darui sisi pengadaan dalam negeri juga meningkat, dari 1,5 juta ton menjadi 1,76 juta ton.
Lantaran bisa menekan impor beras hingga 1,3 juta ton, kredibilitas Bulog pun mulai dipercaya. Apalagi tahun lalu, Bulog berhasil menorehkan sejarah sejak lembaga ini didirikan, yaitu zero impor atau tidak melakukan impor beras. Pencapaian ini diluar dugaan banyak pihak, karena pada 2007 masih impor, maka selama 2008 diyakini Bulog masih harus mendatangkan beras dari luar negeri. Tapi fakta berkata lain. Pengadaan beras dalam negeri justru melonjak 80 persen, menjadi 3,2 juta ton.
Bila dicermati, lonjakan pengadaaan dalam negeri ini sama artinya dengan Bulog menyalurkan dana segar hampir Rp19 triliun ke pedesaan atau petani. Bandingkan jika kita impor beras, kocek Bulog akan mengalir ke petani Vietnam dan Thailand. Sebagai ilustrasi, jika kita memakai angka multiplier untuk pedesaan 1,4, maka dana yang menggerakkan ekonomi pedesaan mencapai Rp26 triliun.
Tidak hanya petani yang diuntungkan, masyarakat konsumen pun juga diuntungkan. Tahun lalu, harga beras cenderung stabil dan masih berada dalam kisaran daya beli masyarakat. Pedagang pun juga susah berbuat curang untuk memainkan harga.
Prestasi ini ternyata sempat mencuri perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam satu kesempatan, SBY mengatakan Bulog bisa menjalankan fungsi PSO dan bisnis untuk komoditas gula dan minyak goreng secara profesional.
Tentu saja, kepercayaan pemimpin negara ini melegakan direksi dan karyawan Bulog. Dan itu bisa menjadi darah segar bagi Bulog untuk menjadi sebuah entitas bisnis menguntungkan yang berbasis sosial
Pilar Manajemen Baru
Mungkin sudah menjadi tradisi dan tabiat praktisi politik di negara ini. Banyak pihak yang mengaku-aku ikut membawa perubahan positif bagi Bulog. Para elit mengklaim sebagai buah kerja keras parpolnya atau sebaliknya. Silang saling klaim ini terdengar jelas saat kampanye pemilu legislatif belum lama ini.
Pertanyaannya, bagaimana itu semua bisa terjadi? Selain dukungan politik yang kuat, manajemen baru Bulog tampaknya juga harus diapresiasi karena mampu mengelola tujuh pilar kekuatan yang ada di lembaga pangan nasional ini.
Pilar pertama adalah Bulog sendiri dengan 26 divre seluruh Indonesia. Itu adalah sokoguru utama. Kedua, Yabinstra, Ketiga, pilar Kopelindo dan Kopel di daerah-daerah. Ini merupakan pilar pendukung kesejahteraan karyawan. Keempat, pilar Korpri.
Selanjutnya pilar Kelima, ada Sekar (Serikat karyawan) yang berkontribusi kepada warga Bulog. Keenam, ada PPBL (perhimpunan pensiunan Bulog) sebagai wadah untuk pewarisan nilai, menjaga semangat, memikirkan kesejahteraan. Dan yang ketujuh yaitu Darmawanita. Ketujuh pilar oleh manajemen baru mampu diberdayakan sehingga saling mengisi dan memperkuat Perum Bulog.
Pakaian seragam pun diubah dari semula warna putih menjadi kuning. Bukan untuk mendekati panji-panji partai tertentu, tapi menyesuaikan diri dengan warna gabah atau padi siap panen di sawah. Saat di sawah dengan seragam Bulog yang baru ini pas sekali dengan warna padi yang menguning.
Penulis : Muhammad Fauzi
Bukan tanpa alasan jika Bulog mentransformasi dirinya. Bulog kini telah menjadi sebuah entitas bisnis. Hanya saja berbeda dengan pengelolaan bisnis biasa. Selain harus menguntungkan secara bisnis, Bulog juga Mengemban fungsi sosial. Fungsi terakhir ini justru lebih berat, karena Bulog bertanggung jawab kepada masyarakat.
Sadar atas fungsi strategisnya dan tidak mau mengulangi kesalahan masa lalu, Bulog pun merubah visi. Bukan sekedar 'For a Brighter Future,' tetapi lebih fokus dengan slogan baru, Bulog Andalan Ketahanan Pangan.
Hanya saja, kita perlu renungkan kembali, apakah cita-cita Bulog sebagai ketahanan pangan saja sudah cukup. Ataukah ada mimpi lain yang lebih tinggi? Atau mungkin tidak akan ada cita-cita lagi, karena Bulog akan kembali menjadi pundi-pundi bagi kelompok elit tertentu pasca Pemilu Presiden nanti? Lantas transformasi Bulog untuk siapa? (Faw/OL-02)
Comments :
0 komentar to “Transformasi Bulog untuk Siapa?”
Posting Komentar