SOREANG, (PR).-
Pelaksanaan UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah di Kab. Bandung masih banyak menghadapi kendala. Apalagi, struktur organisasi Pemkab Bandung terlalu gemuk, sehingga APBD yang mencapai Rp 1,4 triliun sebagian besar dialokasikan untuk belanja tidak langsung, yakni membayar gaji dan tunjangan PNS.
Hal itu dikatakan Asisten Pemerintahan Pemkab Bandung, Drs. H. Bambang Budiraharjo, M.Si., di ruang kerjanya, Selasa (2/6). Pernyataan yang sama juga dikemukakan Bambang Budiraharjo saat mewakili bupati dalam seminar pemerintahan daerah di Kampus Unjani, Cimahi, Sabtu (30/5).
Menurut Bambang, pelayanan Pemkab Bandung masih belum optimal akibat banyaknya substansi pengaturan yang relatif baru dibandingkan dengan UU Pemerintahan Daerah sebelumnya. "Sering terjadi deviasi dalam pelaksanaannya, seperti ada penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah, tetapi tidak disertai sumber-sumber pendanaannya," katanya.
Bahkan, sering tidak terjadi keterkaitan yang jelas antara struktur di tingkat pusat dan daerah. "Suatu fungsi yang dilaksanakan di pusat tidak ada pelaksananya di tingkat daerah. Akibatnya daerah terpaksa membuat lembaga hanya untuk mengejar bantuan yang ditawarkan pusat," ujarnya.
Kendala lain adalah kurang jelasnya pemahaman nomenklatur antara dinas, badan, dan kantor, sehingga rancu dalam pelaksanaannya. "Daerah cenderung memakai lembaga, badan, dan kantor untuk menambah struktur akibat dibatasinya jumlah dinas. Belum lagi dengan jumlah pegawai yang cenderung melebihi jumlah yang diperlukan," katanya.
Distribusi PNS juga lebih terfokus pada bagian administrasi dibandingkan dengan pada bagian yang langsung terkait dengan pelayanan publik. "Akibat tidak jelasnya kompetensi yang dipersyaratkan untuk suatu jabatan, sehingga semua orang bisa menduduki jabatan asalkan memenuhi pangkat, golongan, dan syarat administrasi lainnya," katanya.
Payung hukum
Apabila Pemkab Bandung ingin mengembangkan inovasi dan kreativitas dalam mengelola potensi, kata Bambang, sering terhambat karena belum adanya payung hukum. "Padahal, inovasi makin penting karena perimbangan keuangan antardaerah melebar antara daerah kaya dan daerah miskin," ujarnya.
Bambang mencontohkan, pengembangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) agar menjadi lembaga pemasok bukan "pemacok". "Payung hukum yang mengatur kemitraan pemda dengan swasta, seperti kerja sama operasi, pembelian saham perusahaan swasta/BUMN, ataupun kerja sama lainnya, belum jelas sampai kini," katanya.
Untuk mengatasi membengkaknya jumlah PNS, menurut Bambang, pemkab menjaga kebijakan rasionalisasi PNS dikaitkan dengan jumlah penduduk. "Strategi zero growth bahkan minus growth diterapkan untuk daerah yang kelebihan PNS," ujarnya. (A-71)***
Pelaksanaan UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah di Kab. Bandung masih banyak menghadapi kendala. Apalagi, struktur organisasi Pemkab Bandung terlalu gemuk, sehingga APBD yang mencapai Rp 1,4 triliun sebagian besar dialokasikan untuk belanja tidak langsung, yakni membayar gaji dan tunjangan PNS.
Hal itu dikatakan Asisten Pemerintahan Pemkab Bandung, Drs. H. Bambang Budiraharjo, M.Si., di ruang kerjanya, Selasa (2/6). Pernyataan yang sama juga dikemukakan Bambang Budiraharjo saat mewakili bupati dalam seminar pemerintahan daerah di Kampus Unjani, Cimahi, Sabtu (30/5).
Menurut Bambang, pelayanan Pemkab Bandung masih belum optimal akibat banyaknya substansi pengaturan yang relatif baru dibandingkan dengan UU Pemerintahan Daerah sebelumnya. "Sering terjadi deviasi dalam pelaksanaannya, seperti ada penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah, tetapi tidak disertai sumber-sumber pendanaannya," katanya.
Bahkan, sering tidak terjadi keterkaitan yang jelas antara struktur di tingkat pusat dan daerah. "Suatu fungsi yang dilaksanakan di pusat tidak ada pelaksananya di tingkat daerah. Akibatnya daerah terpaksa membuat lembaga hanya untuk mengejar bantuan yang ditawarkan pusat," ujarnya.
Kendala lain adalah kurang jelasnya pemahaman nomenklatur antara dinas, badan, dan kantor, sehingga rancu dalam pelaksanaannya. "Daerah cenderung memakai lembaga, badan, dan kantor untuk menambah struktur akibat dibatasinya jumlah dinas. Belum lagi dengan jumlah pegawai yang cenderung melebihi jumlah yang diperlukan," katanya.
Distribusi PNS juga lebih terfokus pada bagian administrasi dibandingkan dengan pada bagian yang langsung terkait dengan pelayanan publik. "Akibat tidak jelasnya kompetensi yang dipersyaratkan untuk suatu jabatan, sehingga semua orang bisa menduduki jabatan asalkan memenuhi pangkat, golongan, dan syarat administrasi lainnya," katanya.
Payung hukum
Apabila Pemkab Bandung ingin mengembangkan inovasi dan kreativitas dalam mengelola potensi, kata Bambang, sering terhambat karena belum adanya payung hukum. "Padahal, inovasi makin penting karena perimbangan keuangan antardaerah melebar antara daerah kaya dan daerah miskin," ujarnya.
Bambang mencontohkan, pengembangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) agar menjadi lembaga pemasok bukan "pemacok". "Payung hukum yang mengatur kemitraan pemda dengan swasta, seperti kerja sama operasi, pembelian saham perusahaan swasta/BUMN, ataupun kerja sama lainnya, belum jelas sampai kini," katanya.
Untuk mengatasi membengkaknya jumlah PNS, menurut Bambang, pemkab menjaga kebijakan rasionalisasi PNS dikaitkan dengan jumlah penduduk. "Strategi zero growth bahkan minus growth diterapkan untuk daerah yang kelebihan PNS," ujarnya. (A-71)***
Comments :
0 komentar to “Implementasi UU No. 32 Hadapi Banyak Kendala”
Posting Komentar