HARI masih dini saat baris kolot (sesepuh dan tokoh masyarakat) berkumpul di pawon menghadap ke tungku perapian yang sedang menjerang air. Seruputan kopi kental bergantian dengan isapan rokok kretek bermerek lokal dengan kepulan asap berbau cengkeh dan tembakau.
Hari itu, di akhir bulan Mei, waktu masih menunjukkan pukul 3.30 WIB, tetapi di Imah Gede, terutama di bagian pawon, sudah terlihat kesibukan Ma Uwo --penanggung jawab Imah Gede-- dibantu beberapa ibu melayani baris kolot. Tidak hanya air kopi dan teh tubruk yang ditawarkan, tetapi juga berbagai penganan khas yang semuanya terbuat dari tepung beras.
Genap sudah satu bulan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul yang tersebar di 360 kampung besar melakukan tradisi mipit pare. Salah satu rangkaian tradisi memanen padi "gede" dengan cara dipetik batangnya menggunakan aten (ani-ani) untuk kemudian dipocong (diikat) dan dilantai (dijemur di tiang-tiang bambu), tak jauh dari sawah milik warga adat.
Kini, sudah waktunya ikatan padi yang dilantai untuk dimasukkan ke leuit (lumbung padi) dengan cara dipanggul menggunakan rengkong. "Karena memanggulnya menggunakan rengkong, tradisi membawa ikatan padi ke kampung untuk dimasukkan ke leuit masing-masing warga dinamakan ngarengkong," ujar Yoyo Yogaswara, seniman kontemporer yang kini ditunjuk Abah Ugi (sesepuh adat Kasepuhan Banten Kidul) sebagai juru bicara kampung adat.
Selepas salat Subuh, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kaum laki-laki dewasa dan remaja serta anak-anak berduyun-duyun menyusuri jalanan setapak menuju sawah yang berada di lereng anak Gunung Halimun dan Salak. Langit yang berwarna biru berselimut kabut tipis menjadikan suasana sedikit terang, dan udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang.
Seperti sudah sepakat, tepat pukul 7.00 WIB, dari segenap penjuru lereng bukit terdengar suara riuh layaknya segerombolan serangga. Itulah bunyi gema pikulan rengkong yang tergesek tali ijuk pengikat rangkaian ikatan padi. Krek.. krok..krek..krok....
Kesibukan ngarengkong masyakarat adat Kasepuhan Banten Kidul di Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi, Jawa Barat, biasanya berlangsung sebulan penuh. Bahkan, tahun ini diperkirakan akan berlangsung hingga puncaknya, yaitu upacara Seren Taun karena hasil panen sangat berlimpah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Leuit Abah anu jumlahnya saratus dua puluh opat wae geus pinuh. Jigana kudu nyieun leuit deui dalapan sampai dua belas mah, (Lumbung padi milik Abah yang jumlahnya 124 saja sudah penuh terisi. Sepertinya harus membuat lumbung padi baru, 8 sampai 12)," ujar Abah Ugi sesepuh adat Kasepuhan Banten Kidul.
Selama ini, masyarakat dari sejumlah daerah datang ke kampung adat gede Kasepuhan Banten Kidul, Ciptagelar, untuk melaksanakan wisata budaya, pada umumnya tiga hari menjelang prosesi upacara adat Seren Taun. Padahal, keramaian yang sebenarnya terjadi jauh hari sebelumnya, yaitu mulai dari upacara adat mipit pare (memotong padi/panen), ngarengkong (membawa rangkaian/ikatan padi ke leuit), ngajaran atau ngabuktikeun (pertama kali menumbuk padi) dan diakhiri dengan ponggokan (pertemuan baris kolot menghitung hasil panen).
Tahun ini, upacara tradisi mipit pare sudah berlangsung sejak awal bulan Mei hingga awal Juni yang disambung dengan kegiatan ritus ngarengkong yang diperkirakan baru berakhir pada pertengahan bulan Juni ini. Seusai semua ikatan padi masuk ke dalam leuit, rangkaian kegiatan disambung dengan ngajaran yang diperkirakan akan berlangsung 17 Juni, dan berlanjut pada kegiatan ponggokan mulai 11 Juli, disambung ritus ngembang ka Ciptagelar (17 Juli), ngembang ka Ciptarasa (18 Juli), serta ngembang ka kulon (19 Juli). Puncaknya adalah Seren Taun yang akan diselenggarakan pada 7-10 Agustus mendatang.
Kepada para peminat wisata alam dan budaya kampung adat Kasepuhan Banten Kidul, Abah Ugi mengisyaratkan kegiatan tersebut ada baiknya dilaksanakan pada saat musim panen (mipit pare) yang disambung dengan kegiatan ngarengkong. "Karena pada saat itulah, keramaian terjadi setiap harinya sampai tiga hari penuh," ujar Abah Ugi.
Masyarakat atau wisatawan yang datang, selain akan disuguhi pemandangan dan kegiatan masyarakat adat, juga bisa turut bergabung memanen padi atau mengangkat ikatan padi ke leuit. Rangkaian kegiatan budaya yang sulit ditemukan di mana pun ini merupakan pengalaman yang sangat langka.
Selain kegiatan-kegiatan tersebut, pengunjung juga dapat menikmati suguhan makanan khas yang hanya disuguhkan pada rangkaian kegiatan selama musim panen dan memasukkan padi ke lumbung. Makanan yang semuanya berasal dari beras tersebut bukan hanya nasi keupeul (semacam timbel) terbungkus daun pisang, tetapi juga nasi dari beras huma (beras merah) yang diberi ramuan rempah-rempah. Selain itu, disajikan pula kue-kue dari bahan tepung beras.
Kasepuhan Banten Kidul di Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi, Jawa Barat, berada di kawasan Taman Nasional Gunung Salak Halimun (TNGSH), berjarak 44 kilometer dari Palabuhanratu yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi. Sementara dari Bandung atau Jakarta berjarak sekitar 230 kilometer.
Untuk sampai ke lokasi, bila menggunakan kendaraan sendiri, pengunjung hanya bisa sampai ke Desa Pangumbahan karena kondisi jalan yang kurang bersahabat. Setelah itu, disambung dengan menggunakan kendaraan roda empat yang sudah disediakan Abah Ugi, atau kendaraan milik penambang emas dengan tarif Rp 20.000,00 hingga Rp 50.000,00, tergantung cuaca dan waktu. Bisa juga menggunakan ojek, namun tarifnya bisa mencapai Rp 100.000,00.
Disarankan, pengunjung sebaiknya sudah tiba di Desa Pangumbahan sebelum pukul 10.00 WIB agar sampai ke tujuan tidak terlalu sore. Hal ini karena kawasan TNGSH sangat rentan dengan cuaca yang berubah-ubah dan cenderung diguyur hujan serta kabut tebal sehingga perjalanan yang semestinya dapat dilakukan 2-3 jam, bisa mencapai 4 jam lebih.
Apalagi bila kita berniat untuk melakukan wisata alam TNGSH yang masih kaya akan flora dan faunanya, atau sekadar berenang di Sungai Cimaja yang airnya bening kebiru-biruan.
Sebelum ritus ngarengkong usai, yaitu seluruh ikatan padi dimasukkan ke dalam leuit dan kegiatan menumbuk padi dilakukan, ada baiknya kita berkunjung saat ini. Nikmati kebersahajaan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul dan dekatkan diri dengan alam serta budayanya. (Retno HY/"PR")***
Hari itu, di akhir bulan Mei, waktu masih menunjukkan pukul 3.30 WIB, tetapi di Imah Gede, terutama di bagian pawon, sudah terlihat kesibukan Ma Uwo --penanggung jawab Imah Gede-- dibantu beberapa ibu melayani baris kolot. Tidak hanya air kopi dan teh tubruk yang ditawarkan, tetapi juga berbagai penganan khas yang semuanya terbuat dari tepung beras.
Genap sudah satu bulan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul yang tersebar di 360 kampung besar melakukan tradisi mipit pare. Salah satu rangkaian tradisi memanen padi "gede" dengan cara dipetik batangnya menggunakan aten (ani-ani) untuk kemudian dipocong (diikat) dan dilantai (dijemur di tiang-tiang bambu), tak jauh dari sawah milik warga adat.
Kini, sudah waktunya ikatan padi yang dilantai untuk dimasukkan ke leuit (lumbung padi) dengan cara dipanggul menggunakan rengkong. "Karena memanggulnya menggunakan rengkong, tradisi membawa ikatan padi ke kampung untuk dimasukkan ke leuit masing-masing warga dinamakan ngarengkong," ujar Yoyo Yogaswara, seniman kontemporer yang kini ditunjuk Abah Ugi (sesepuh adat Kasepuhan Banten Kidul) sebagai juru bicara kampung adat.
Selepas salat Subuh, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kaum laki-laki dewasa dan remaja serta anak-anak berduyun-duyun menyusuri jalanan setapak menuju sawah yang berada di lereng anak Gunung Halimun dan Salak. Langit yang berwarna biru berselimut kabut tipis menjadikan suasana sedikit terang, dan udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang.
Seperti sudah sepakat, tepat pukul 7.00 WIB, dari segenap penjuru lereng bukit terdengar suara riuh layaknya segerombolan serangga. Itulah bunyi gema pikulan rengkong yang tergesek tali ijuk pengikat rangkaian ikatan padi. Krek.. krok..krek..krok....
Kesibukan ngarengkong masyakarat adat Kasepuhan Banten Kidul di Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi, Jawa Barat, biasanya berlangsung sebulan penuh. Bahkan, tahun ini diperkirakan akan berlangsung hingga puncaknya, yaitu upacara Seren Taun karena hasil panen sangat berlimpah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Leuit Abah anu jumlahnya saratus dua puluh opat wae geus pinuh. Jigana kudu nyieun leuit deui dalapan sampai dua belas mah, (Lumbung padi milik Abah yang jumlahnya 124 saja sudah penuh terisi. Sepertinya harus membuat lumbung padi baru, 8 sampai 12)," ujar Abah Ugi sesepuh adat Kasepuhan Banten Kidul.
Selama ini, masyarakat dari sejumlah daerah datang ke kampung adat gede Kasepuhan Banten Kidul, Ciptagelar, untuk melaksanakan wisata budaya, pada umumnya tiga hari menjelang prosesi upacara adat Seren Taun. Padahal, keramaian yang sebenarnya terjadi jauh hari sebelumnya, yaitu mulai dari upacara adat mipit pare (memotong padi/panen), ngarengkong (membawa rangkaian/ikatan padi ke leuit), ngajaran atau ngabuktikeun (pertama kali menumbuk padi) dan diakhiri dengan ponggokan (pertemuan baris kolot menghitung hasil panen).
Tahun ini, upacara tradisi mipit pare sudah berlangsung sejak awal bulan Mei hingga awal Juni yang disambung dengan kegiatan ritus ngarengkong yang diperkirakan baru berakhir pada pertengahan bulan Juni ini. Seusai semua ikatan padi masuk ke dalam leuit, rangkaian kegiatan disambung dengan ngajaran yang diperkirakan akan berlangsung 17 Juni, dan berlanjut pada kegiatan ponggokan mulai 11 Juli, disambung ritus ngembang ka Ciptagelar (17 Juli), ngembang ka Ciptarasa (18 Juli), serta ngembang ka kulon (19 Juli). Puncaknya adalah Seren Taun yang akan diselenggarakan pada 7-10 Agustus mendatang.
Kepada para peminat wisata alam dan budaya kampung adat Kasepuhan Banten Kidul, Abah Ugi mengisyaratkan kegiatan tersebut ada baiknya dilaksanakan pada saat musim panen (mipit pare) yang disambung dengan kegiatan ngarengkong. "Karena pada saat itulah, keramaian terjadi setiap harinya sampai tiga hari penuh," ujar Abah Ugi.
Masyarakat atau wisatawan yang datang, selain akan disuguhi pemandangan dan kegiatan masyarakat adat, juga bisa turut bergabung memanen padi atau mengangkat ikatan padi ke leuit. Rangkaian kegiatan budaya yang sulit ditemukan di mana pun ini merupakan pengalaman yang sangat langka.
Selain kegiatan-kegiatan tersebut, pengunjung juga dapat menikmati suguhan makanan khas yang hanya disuguhkan pada rangkaian kegiatan selama musim panen dan memasukkan padi ke lumbung. Makanan yang semuanya berasal dari beras tersebut bukan hanya nasi keupeul (semacam timbel) terbungkus daun pisang, tetapi juga nasi dari beras huma (beras merah) yang diberi ramuan rempah-rempah. Selain itu, disajikan pula kue-kue dari bahan tepung beras.
Kasepuhan Banten Kidul di Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi, Jawa Barat, berada di kawasan Taman Nasional Gunung Salak Halimun (TNGSH), berjarak 44 kilometer dari Palabuhanratu yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi. Sementara dari Bandung atau Jakarta berjarak sekitar 230 kilometer.
Untuk sampai ke lokasi, bila menggunakan kendaraan sendiri, pengunjung hanya bisa sampai ke Desa Pangumbahan karena kondisi jalan yang kurang bersahabat. Setelah itu, disambung dengan menggunakan kendaraan roda empat yang sudah disediakan Abah Ugi, atau kendaraan milik penambang emas dengan tarif Rp 20.000,00 hingga Rp 50.000,00, tergantung cuaca dan waktu. Bisa juga menggunakan ojek, namun tarifnya bisa mencapai Rp 100.000,00.
Disarankan, pengunjung sebaiknya sudah tiba di Desa Pangumbahan sebelum pukul 10.00 WIB agar sampai ke tujuan tidak terlalu sore. Hal ini karena kawasan TNGSH sangat rentan dengan cuaca yang berubah-ubah dan cenderung diguyur hujan serta kabut tebal sehingga perjalanan yang semestinya dapat dilakukan 2-3 jam, bisa mencapai 4 jam lebih.
Apalagi bila kita berniat untuk melakukan wisata alam TNGSH yang masih kaya akan flora dan faunanya, atau sekadar berenang di Sungai Cimaja yang airnya bening kebiru-biruan.
Sebelum ritus ngarengkong usai, yaitu seluruh ikatan padi dimasukkan ke dalam leuit dan kegiatan menumbuk padi dilakukan, ada baiknya kita berkunjung saat ini. Nikmati kebersahajaan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul dan dekatkan diri dengan alam serta budayanya. (Retno HY/"PR")***
Comments :
0 komentar to “Menyambut Upacara Seren Taun Kampung Adat Kasepuhan Banten Kidul Menikmati Ritus "Mipit Pare"”
Posting Komentar