Sabtu, 04 Juli 2009 , 00:24:00
BANDUNG, (PRLM).- Perilaku represif Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di 26 Kab./Kota di Jawa Barat merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Selama ini, kehadiran institusi tersebut telah menyebabkan ketidaknyamanan di kalangan masyarakat, terutama kelompok marginal seperti pedagang kaki lima, pengamen, dan pekerja seks.
Menurut Marina, salah seorang aktivis HIV/AIDS di Mitra Sehati yang juga pendidik sebaya di kalangan wanita pekerja seks, tindakan kekerasan yang dilakukan Satpol PP sebaya telah menimbulkan perasan tidak aman, takut, dan trauma berkepanjangan bagi sejumlah kelompok masyarakat, seperti pekerja seks. "Petugas Satpol itu kan tugasnya menertibkan, tetapi caranya itu sungguh tidak berprikemanusiaan," kata Marina kepada "PRLM", Jumat (3/7).
Selama ini, rekannya di kalangan pekerja seks sering mengeluhkan tindakan Satpol PP yang melanggar hak asasi para pekerja. Dijelaskannya, saat beraksi para petugas Satpol PP ini seringkali menggunakan cara-cara kekerasan. Padahal, banyak cara yang tidak represif, dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang misalnya diduga melanggar keteriban umum.
Terkait dengan perilaku para petugas Satpol PP di lapangan, Marina meminta para petugas untuk mengedepankan penghargaan terhadap prinsip hak asasi manusia. Dijelaskannya, setiap individu memiliki hak asasi, di antaranya hak ekososbud (ekonomi, sosial, dan budaya). "Hak mendapatkan pekerjaan adalah hak semua warga negara karena dijamin oleh undang-undang," jelasnya.
Dicontohkannya, perilaku respresif para petugas Satpol itu bentuknya dapat berupa fisik dan teror psikologis, mulai dari melukai secara fisik, meminta uang sampai dengan mengancam. "Sungguh tindakan yang tidak terpuji," katanya.
Oleh karena itu, dia meminta Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mereformasi institusi tersebut sehingga performanya menjadi humanis dan jauh dari tindak kekerasan.
Sementara itu, Arif Mochamad dari Family Health International Kota Bandung, mengatakan, Satpol PP dibutuhkan untuk menegakkan peraturan daerah, tetapi pada kenyataannya mereka inilah yang sering melanggar HAM. Menurut dia, kelompok masyarakat yang sering menjadi target para petugas ini, harus berani untuk berbicara jika tindakan para petugas tersebut melukai hak-hak mereka.
Dijelaskannya, para pekerja seks dan kelompok lainnya yang sering menjadi buruan para Satpol PP ini, umumnya tidak mengerti hukum. Oleh karena itu, banyak di antara mereka hanya diam dan menerima perlakuan represif tersebut. "Perlu ada tindakan tegas terhadap perilaku Satpol PP yang represif itu," ujarnya. (A-133/das)***
BANDUNG, (PRLM).- Perilaku represif Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di 26 Kab./Kota di Jawa Barat merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Selama ini, kehadiran institusi tersebut telah menyebabkan ketidaknyamanan di kalangan masyarakat, terutama kelompok marginal seperti pedagang kaki lima, pengamen, dan pekerja seks.
Menurut Marina, salah seorang aktivis HIV/AIDS di Mitra Sehati yang juga pendidik sebaya di kalangan wanita pekerja seks, tindakan kekerasan yang dilakukan Satpol PP sebaya telah menimbulkan perasan tidak aman, takut, dan trauma berkepanjangan bagi sejumlah kelompok masyarakat, seperti pekerja seks. "Petugas Satpol itu kan tugasnya menertibkan, tetapi caranya itu sungguh tidak berprikemanusiaan," kata Marina kepada "PRLM", Jumat (3/7).
Selama ini, rekannya di kalangan pekerja seks sering mengeluhkan tindakan Satpol PP yang melanggar hak asasi para pekerja. Dijelaskannya, saat beraksi para petugas Satpol PP ini seringkali menggunakan cara-cara kekerasan. Padahal, banyak cara yang tidak represif, dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang misalnya diduga melanggar keteriban umum.
Terkait dengan perilaku para petugas Satpol PP di lapangan, Marina meminta para petugas untuk mengedepankan penghargaan terhadap prinsip hak asasi manusia. Dijelaskannya, setiap individu memiliki hak asasi, di antaranya hak ekososbud (ekonomi, sosial, dan budaya). "Hak mendapatkan pekerjaan adalah hak semua warga negara karena dijamin oleh undang-undang," jelasnya.
Dicontohkannya, perilaku respresif para petugas Satpol itu bentuknya dapat berupa fisik dan teror psikologis, mulai dari melukai secara fisik, meminta uang sampai dengan mengancam. "Sungguh tindakan yang tidak terpuji," katanya.
Oleh karena itu, dia meminta Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mereformasi institusi tersebut sehingga performanya menjadi humanis dan jauh dari tindak kekerasan.
Sementara itu, Arif Mochamad dari Family Health International Kota Bandung, mengatakan, Satpol PP dibutuhkan untuk menegakkan peraturan daerah, tetapi pada kenyataannya mereka inilah yang sering melanggar HAM. Menurut dia, kelompok masyarakat yang sering menjadi target para petugas ini, harus berani untuk berbicara jika tindakan para petugas tersebut melukai hak-hak mereka.
Dijelaskannya, para pekerja seks dan kelompok lainnya yang sering menjadi buruan para Satpol PP ini, umumnya tidak mengerti hukum. Oleh karena itu, banyak di antara mereka hanya diam dan menerima perlakuan represif tersebut. "Perlu ada tindakan tegas terhadap perilaku Satpol PP yang represif itu," ujarnya. (A-133/das)***
Comments :
0 komentar to “Satpol PP Menjadi Momok Masyarakat Marginal”
Posting Komentar