DRAMA penggerebekan menegangkan selama 18 jam di sebuah rumah di Temanggung, Jawa Tengah, mulai memunculkan skeptisisme. Tontonan yang mengasyikkan itu kini mulai melahirkan keraguan.
Soalnya buron yang tewas dalam penggerebekan itu, oleh banyak pengamat, diduga bukan Noordin M Top, gembong teroris yang paling dicari selama tujuh tahun di Indonesia.
Hasil tes DNA yang belum diumumkan polisi sampai hari ini menyuburkan spekulasi tentang siapa sosok yang kini menjadi mayat itu. Bersamaan dengan itu, apresiasi terhadap kerja polisi, khususnya tim Detasemen Khusus 88 Antiteror yang melambung, mulai dicibir.
Tidak ada prestasi yang mampu menyenangkan semua orang karena perbedaan persepsi dan selera. Terorisme juga demikian.
Mengapa terorisme tidak pernah mati? Karena perbedaan persepsi dan selera menyebabkan sang teroris dianggap penjahat oleh sebagian orang, tetapi oleh yang lain disanjung sebagai pahlawan.
Kendati demikian, terorisme tetaplah musuh publik. Karena para teroris membinasakan orang-orang yang tidak bersalah.
Andaikata yang tewas dalam penggerebekan di Temanggung bukan Noordin M Top, haruskah kita mengecilkan kerja polisi, khususnya Densus 88? Jawabnya tegas, tidak boleh. Setiap teroris yang berhasil ditangkap hidup atau mati oleh kepolisian harus mendapat apresiasi tinggi dari kita semua, negara dan masyarakat. Bahkan ketika polisi gagal menangkap sang teroris pun, apresiasi kepada mereka janganlah dirobohkan.
Fakta bahwa seorang Noordin M Top mampu bertahan sampai sekarang--jika memang belum tewas--memperkuat pengakuan bahwa dia memang licin. Lalu fakta bahwa telah demikian banyak teroris binaan Noordin yang bermunculan di berbagai wilayah, entah yang sudah ditangkap, dipenjara, maupun yang tewas, memperkuat pengakuan bahwa Noordin berpengaruh.
Dan, bom yang terus saja meletus dalam kurun tujuh tahun terakhir menegaskan keahlian seorang Noordin merakit dan melahirkan perakit-perakit bom hebat lainnya.
Dan, fakta lain, Indonesia rupanya tempat subur bagi Noordin menemukan dan mengembangkan bibit-bibit terorisme. Itulah yang menyebabkan dia betah dan bertahan. Ada saja orang-orang yang rela menjadi pelaku bom bunuh diri. Dan ada saja yang rela menjadi istrinya.
Sistem sel yang dikembangkan jaringan Noordin sudah menggurita. Sel yang satu tidak mengenal sel yang lain dan terus bertambah. Teroris, dengan demikian, potensial berada di sekitar kita. Dan banyak di antara kita yang kaget kemudian, mengapa anak atau orang yang dikenal baik kok bisa menjadi pelaku bom bunuh diri.
Dengan sistem sel begitu, terorisme di Indonesia tidak lagi bergantung pada seorang Noordin M Top. Noordin ada atau tidak, para teroris sudah telanjur menjaring di Tanah Air.
Itulah sebabnya, seorang teroris yang ditembak atau ditangkap polisi di mana saja, kapan saja, dan siapa saja mereka, haruslah dianggap sebagai pemenggalan sel-sel itu. Ini berarti polisi haruslah diapresiasi.
Janganlah meremehkan prestasi polisi hanya karena yang tewas dalam penggerebekan 18 jam di Temanggung itu bukan Noordin M Top. Polisi tetap dihargai dan perang terhadap terorisme tetaplah dikobarkan.
Jika dibandingkan dengan perang Amerika di Pakistan dan Afghanistan yang menelan biaya sangat besar untuk menumpas terorisme, prestasi polisi Indonesia patut diacungi jempol. Banyak sekali teroris yang ditangkap Polri, bahkan dihukum mati, dengan biaya relatif kecil.
Oleh karena itu, sekali lagi kita mengucapkan salut buat polisi.
Soalnya buron yang tewas dalam penggerebekan itu, oleh banyak pengamat, diduga bukan Noordin M Top, gembong teroris yang paling dicari selama tujuh tahun di Indonesia.
Hasil tes DNA yang belum diumumkan polisi sampai hari ini menyuburkan spekulasi tentang siapa sosok yang kini menjadi mayat itu. Bersamaan dengan itu, apresiasi terhadap kerja polisi, khususnya tim Detasemen Khusus 88 Antiteror yang melambung, mulai dicibir.
Tidak ada prestasi yang mampu menyenangkan semua orang karena perbedaan persepsi dan selera. Terorisme juga demikian.
Mengapa terorisme tidak pernah mati? Karena perbedaan persepsi dan selera menyebabkan sang teroris dianggap penjahat oleh sebagian orang, tetapi oleh yang lain disanjung sebagai pahlawan.
Kendati demikian, terorisme tetaplah musuh publik. Karena para teroris membinasakan orang-orang yang tidak bersalah.
Andaikata yang tewas dalam penggerebekan di Temanggung bukan Noordin M Top, haruskah kita mengecilkan kerja polisi, khususnya Densus 88? Jawabnya tegas, tidak boleh. Setiap teroris yang berhasil ditangkap hidup atau mati oleh kepolisian harus mendapat apresiasi tinggi dari kita semua, negara dan masyarakat. Bahkan ketika polisi gagal menangkap sang teroris pun, apresiasi kepada mereka janganlah dirobohkan.
Fakta bahwa seorang Noordin M Top mampu bertahan sampai sekarang--jika memang belum tewas--memperkuat pengakuan bahwa dia memang licin. Lalu fakta bahwa telah demikian banyak teroris binaan Noordin yang bermunculan di berbagai wilayah, entah yang sudah ditangkap, dipenjara, maupun yang tewas, memperkuat pengakuan bahwa Noordin berpengaruh.
Dan, bom yang terus saja meletus dalam kurun tujuh tahun terakhir menegaskan keahlian seorang Noordin merakit dan melahirkan perakit-perakit bom hebat lainnya.
Dan, fakta lain, Indonesia rupanya tempat subur bagi Noordin menemukan dan mengembangkan bibit-bibit terorisme. Itulah yang menyebabkan dia betah dan bertahan. Ada saja orang-orang yang rela menjadi pelaku bom bunuh diri. Dan ada saja yang rela menjadi istrinya.
Sistem sel yang dikembangkan jaringan Noordin sudah menggurita. Sel yang satu tidak mengenal sel yang lain dan terus bertambah. Teroris, dengan demikian, potensial berada di sekitar kita. Dan banyak di antara kita yang kaget kemudian, mengapa anak atau orang yang dikenal baik kok bisa menjadi pelaku bom bunuh diri.
Dengan sistem sel begitu, terorisme di Indonesia tidak lagi bergantung pada seorang Noordin M Top. Noordin ada atau tidak, para teroris sudah telanjur menjaring di Tanah Air.
Itulah sebabnya, seorang teroris yang ditembak atau ditangkap polisi di mana saja, kapan saja, dan siapa saja mereka, haruslah dianggap sebagai pemenggalan sel-sel itu. Ini berarti polisi haruslah diapresiasi.
Janganlah meremehkan prestasi polisi hanya karena yang tewas dalam penggerebekan 18 jam di Temanggung itu bukan Noordin M Top. Polisi tetap dihargai dan perang terhadap terorisme tetaplah dikobarkan.
Jika dibandingkan dengan perang Amerika di Pakistan dan Afghanistan yang menelan biaya sangat besar untuk menumpas terorisme, prestasi polisi Indonesia patut diacungi jempol. Banyak sekali teroris yang ditangkap Polri, bahkan dihukum mati, dengan biaya relatif kecil.
Oleh karena itu, sekali lagi kita mengucapkan salut buat polisi.
Comments :
0 komentar to “Andai bukan Noordin Tetap Terpujilah Polisi”
Posting Komentar