SEMUA tahu bahwa penentuan seseorang menjadi menteri kabinet adalah hak prerogatif presiden. Boleh saja banyak nama yang diajukan dan mengajukan diri, tetapi keputusan akhir sepenuhnya di tangan presiden. Tidak bisa diganggu-gugat.Ketika pertama kali menjadi Presiden tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono mengubah cara seleksi para menteri dari yang sebelumnya tertutup menjadi terbuka. Walaupun keputusan akhir sepenuhnya di tangan Presiden, publik diberi kesempatan untuk mengikuti proses rekrutmen.
Mereka yang masuk dalam daftar rekrutmen dipanggil ke kediaman Presiden di Cikeas di bawah sorotan kamera televisi dan tatapan mata media. Publik akhirnya mengetahui siapa sesungguhnya calon yang diincar itu.
SBY mengubah rekrutmen tertutup dan rahasia menjadi rekrutmen terbuka yang tidak sepenuhnya rahasia lagi. Atas nama transparansi, susunan personalia kabinet tidak lagi menjadi misteri yang mencekam.
Tetapi, apa yang terjadi dalam kasus penentuan Menteri Kesehatan dari Nila Juwita Moeloek ke Endang Rahayu Sedyaningsih, patut dicatat serius. Nila Juwita yang sudah dipanggil dan memberi keterangan pers serta menjalani test kesehatan, diganti di saat-saat terakhir tanpa penjelasan yang memadai. Menurut kabar dia tidak lolos tes kesehatan.
Persoalan serius yang kini dihadapi tidak lagi semata pada tidak ada penjelasan memadai mengapa Nila Juwita gagal jadi menteri. Tetapi perkara yang sangat penting adalah apakah sistem rekrutmen terbuka perlu dipertahankan atau tidak.
Dalam kasus Nila Juwita, jelas bahwa sistem rekrutmen terbuka ternyata membawa luka. Luka di hati bagi mereka yang telah diekspos kepada publik untuk memangku jabatan tertentu, tetapi terguncang di saat-saat akhir ketika semuanya berantakan. Pasti tidak hanya hati yang terluka, tetapi jiwa yang terguncang.
Dan bagi Presiden SBY, persoalan tidaklah sesederhana pada wilayah keterbukaan dengan menjelaskan dan menjawab pertanyaan. Jadi tidak gampang SBY untuk menjelaskan kepada publik apa problem kesehatan yang mengganjal Nila Juwita.
Dokter, misalnya, tidak berkewajiban untuk memberitahu semua jenis penyakit pasien yang ditangani. Ada penyakit yang tergolong rahasia sehingga tidak diperkenankan untuk diketahui publik.
Apakah SBY akan menjelaskan terbuka semua temuan penyakit pada Nila Juwita kepada publik untuk menjawab transparansi? Apakah Nila Juwita sendiri tidak berkeberatan penyakitnya dibeberkan kepada publik?
Disinilah dilema itu. Dilema yang tidak semata berkutat pada menjawab pertanyaan kesehatan untuk memenuhi transparansi, tetapi dilema yang membuka kesadaran kita bahwa rekrutmen menteri terbuka apalagi sangat teatrikal, tidak bisa dilanjutkan lagi.
Transparansi untuk sebuah kewenangan prerogatif dan karena itu rahasia, ternyata menimbulkan potensi melukai hati dan mengguncang jiwa. Nila Juwita Moeloek adalah contoh yang terluka itu. Dan tidak gampang mengobatinya dengan resep transparansi semata.
Sent from my BlackBerry® powered by
Comments :
0 komentar to “Transparansi yang Melukai”
Posting Komentar