TIDAK sulit mencari kesemrawutan pengelolaan negara. Setiap saat kesemrawutan itu datang menghampiri, tanpa perlu dicari-cari.
Ini, tentu, menjadi dilema bagi media massa. Media seakan sangat sensitif terhadap keburukan, tetapi dituduh menutup mata terhadap kebaikan. Media dianggap terperangkap pada dalih bad news is good news.
Dalam pengelolaan negara memang terjadi kompetisi pemasaran antara yang baik dan yang buruk. Dan, malangnya bagi Indonesia, bad news masih memenangi kompetisi pemasaran sampai hari ini. Karena memang secara substansial bad news amat mendominasi.
Kebaikan memang ada, tetapi dibutuhkan ketekunan luar biasa untuk menemukannya. Itu adalah ironi sekaligus paradoks yang lazim di sebuah negara yang amat korup.
Kesemrawutan yang paling baru terungkap adalah kesalahan rujukan surat Presiden kepada DPR untuk mencabut Perppu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Surat Presiden dengan nomor RI 61/Pres/12/2009 itu ditujukan kepada DPR dengan rujukan rapat paripurna tanggal 30 September 2009.
Setelah diusut-usut ternyata tidak ada agenda Rapat Paripurna DPR pada tanggal 30 September 2009 seperti yang menjadi rujukan surat Presiden. Karena kesalahan yang amat telanjang dan amat tidak perlu itu, DPR yang semula dilematis untuk membahas atau tidak pencabutan Perppu JPSK dengan enteng bisa mengembalikan surat Presiden karena telah terjadi kesalahan rujukan.
Bukan pertama kali Presiden dibuat malu oleh kesemrawutan administrasi negara seperti itu. Belum lama ini, SBY batal melantik dua wakil menteri karena kesalahan administrasi. Padahal pejabat yang akan dilantik sudah diumumkan dan hadir dalam acara pelantikan.
Dua pejabat yang batal dilantik, wakil menteri kesehatan dan wakil menteri keuangan, ternyata tidak memenuhi syarat dari sisi kepangkatan di struktur pegawai negeri. Padahal, terdapat jarak waktu yang lama untuk menyelesaikan aspek administrasi para wakil menteri itu.
Lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap dua kesalahan administrasi yang menggelikan ini adalah Sekretariat Negara. Apakah ini adalah human error atau kesengajaan, tentu, menjadi perkara yang menarik untuk ditelusuri.
Sebuah surat resmi yang salah tanggal, apalagi menyangkut perkara yang krusial, bisa saja betul-betul kekeliruan manusiawi. Tetapi yang jauh lebih substansial adalah kesadaran kita bahwa aspek administrasi adalah bagian vital dari sebuah persekongkolan atau korupsi.
Coba lihat sejumlah kasus di pengadilan. Surat-surat dan dokumen putusan pengadilan sengaja dibuat salah untuk kemudian berakibat pada pembebasan dan pemenjaraan seseorang. Bagaimana seorang narapidana bisa kemudian bebas sebelum waktunya karena surat yang dimanipulasi. Bagaimana seorang yang tidak pernah menghadapi sidang vonis di pengadilan, tetapi sudah masuk bui dengan putusan sekian tahun penjara.
Jadi, kesalahan administrasi jangan dilihat sebagai sebuah kesalahan sederhana. Dia menjadi mata rantai penting dari sebuah kebiasaan konspiratif dan manipulatif yang melanggengkan korupsi.
Ini, tentu, menjadi dilema bagi media massa. Media seakan sangat sensitif terhadap keburukan, tetapi dituduh menutup mata terhadap kebaikan. Media dianggap terperangkap pada dalih bad news is good news.
Dalam pengelolaan negara memang terjadi kompetisi pemasaran antara yang baik dan yang buruk. Dan, malangnya bagi Indonesia, bad news masih memenangi kompetisi pemasaran sampai hari ini. Karena memang secara substansial bad news amat mendominasi.
Kebaikan memang ada, tetapi dibutuhkan ketekunan luar biasa untuk menemukannya. Itu adalah ironi sekaligus paradoks yang lazim di sebuah negara yang amat korup.
Kesemrawutan yang paling baru terungkap adalah kesalahan rujukan surat Presiden kepada DPR untuk mencabut Perppu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Surat Presiden dengan nomor RI 61/Pres/12/2009 itu ditujukan kepada DPR dengan rujukan rapat paripurna tanggal 30 September 2009.
Setelah diusut-usut ternyata tidak ada agenda Rapat Paripurna DPR pada tanggal 30 September 2009 seperti yang menjadi rujukan surat Presiden. Karena kesalahan yang amat telanjang dan amat tidak perlu itu, DPR yang semula dilematis untuk membahas atau tidak pencabutan Perppu JPSK dengan enteng bisa mengembalikan surat Presiden karena telah terjadi kesalahan rujukan.
Bukan pertama kali Presiden dibuat malu oleh kesemrawutan administrasi negara seperti itu. Belum lama ini, SBY batal melantik dua wakil menteri karena kesalahan administrasi. Padahal pejabat yang akan dilantik sudah diumumkan dan hadir dalam acara pelantikan.
Dua pejabat yang batal dilantik, wakil menteri kesehatan dan wakil menteri keuangan, ternyata tidak memenuhi syarat dari sisi kepangkatan di struktur pegawai negeri. Padahal, terdapat jarak waktu yang lama untuk menyelesaikan aspek administrasi para wakil menteri itu.
Lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap dua kesalahan administrasi yang menggelikan ini adalah Sekretariat Negara. Apakah ini adalah human error atau kesengajaan, tentu, menjadi perkara yang menarik untuk ditelusuri.
Sebuah surat resmi yang salah tanggal, apalagi menyangkut perkara yang krusial, bisa saja betul-betul kekeliruan manusiawi. Tetapi yang jauh lebih substansial adalah kesadaran kita bahwa aspek administrasi adalah bagian vital dari sebuah persekongkolan atau korupsi.
Coba lihat sejumlah kasus di pengadilan. Surat-surat dan dokumen putusan pengadilan sengaja dibuat salah untuk kemudian berakibat pada pembebasan dan pemenjaraan seseorang. Bagaimana seorang narapidana bisa kemudian bebas sebelum waktunya karena surat yang dimanipulasi. Bagaimana seorang yang tidak pernah menghadapi sidang vonis di pengadilan, tetapi sudah masuk bui dengan putusan sekian tahun penjara.
Jadi, kesalahan administrasi jangan dilihat sebagai sebuah kesalahan sederhana. Dia menjadi mata rantai penting dari sebuah kebiasaan konspiratif dan manipulatif yang melanggengkan korupsi.
Comments :
0 komentar to “Administrasi Negara yang Karut-Marut”
Posting Komentar