TENGGAT rekapitulasi suara lagi-lagi ditabrak Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setelah batas rekapitulasi tingkat kabupaten/kota dan provinsi diterabas, kini giliran tenggat rekapitulasi nasional yang gagal dipenuhi lembaga penyelenggara pemilu itu. Tanda-tanda kegagalan itu memang sudah sejak awal terlihat mengingat kinerja KPU sekarang tergolong buruk, bahkan amat buruk. Mulai dari tidak adanya rencana kerja yang matang hingga pelaksanaannya.
Amburadulnya daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu legislatif lalu masih menyisakan sejumlah persoalan besar yang hingga kini belum jelas penyelesaiannya. Sekarang, KPU lagi-lagi memperlihatkan kinerjanya yang buruk dengan gagal memenuhi tenggat rekapitulasi suara seperti yang diamanatkan undang-undang. Bila perintah undang-undang dipatuhi, batas akhir penghitungan suara di tingkat kabupaten/kota adalah 21 April, di provinsi 24 April, dan di tingkat nasional pada 6 Mei 2009.
Namun, semua tenggat itu diterabas KPU. Sampai sehari menjelang batas tanggal 6 Mei, KPU baru menyelesaikan rekapitulasi di 25 provinsi dengan jumlah suara 82,7 juta dari total pemilih 171 juta atau baru sekitar 48,3%. Jadi, masih ada delapan provinsi yang rekapitulasinya belum bisa disahkan. Mau dikebut dengan metode apa pun, apalagi ini adalah penghitungan manual, mustahil KPU menyelesaikan sisa pekerjaan dalam semalam.
Pelanggaran terhadap tenggat rekapitulasi itu berimplikasi sangat besar. Tidak semata tergesernya tahapan-tahapan pemilihan presiden yang pendaftarannya sudah dimulai sejak 10 hingga 16 Mei mendatang. Kredibilitas pemilu pun terancam. Bagaimana pemilu bisa kredibel kalau dihasilkan dari sebuah lembaga penyelenggara yang sangat diragukan kredibilitasnya? Lembaga yang bekerja asal memenuhi target dan mengabaikan akurasi?
Yang lebih memprihatinkan, selain bekerja asal memenuhi target, KPU pun kini antikoreksi. Semua keberatan saksi atas rekapitulasi, meski ada perbedaan mencolok atas total suara di suatu dapil, tidak digubris. Semua keberatan saksi dilempar penyelesaiannya ke Mahkamah Konstitusi.
Sikap KPU yang demikian tentu harus dikoreksi. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak boleh sungkan-sungkan membawa persoalan itu ke Dewan Kehormatan KPU. Bahkan kalau perlu, ke pengadilan.
Langkah Bawaslu yang membawa sejumlah perkara tindak pidana pemilu ke polisi semestinya direspons secara proporsional. Bukan membiarkannya berlalu begitu saja. Jadi, kita sesungguhnya sedang berada dalam bahaya. Bahaya tergerusnya jiwa demokrasi yang mengedepankan akuntabilitas, transparansi, dan tanggung jawab. Adalah berbahaya juga ketika semua keberatan dalam pemilu dilempar penyelesaiannya ke Mahkamah Konstitusi.
Sumber : mediaindonesia.com, Kamis, 07 Mei 2009 00:00 WIB
Amburadulnya daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu legislatif lalu masih menyisakan sejumlah persoalan besar yang hingga kini belum jelas penyelesaiannya. Sekarang, KPU lagi-lagi memperlihatkan kinerjanya yang buruk dengan gagal memenuhi tenggat rekapitulasi suara seperti yang diamanatkan undang-undang. Bila perintah undang-undang dipatuhi, batas akhir penghitungan suara di tingkat kabupaten/kota adalah 21 April, di provinsi 24 April, dan di tingkat nasional pada 6 Mei 2009.
Namun, semua tenggat itu diterabas KPU. Sampai sehari menjelang batas tanggal 6 Mei, KPU baru menyelesaikan rekapitulasi di 25 provinsi dengan jumlah suara 82,7 juta dari total pemilih 171 juta atau baru sekitar 48,3%. Jadi, masih ada delapan provinsi yang rekapitulasinya belum bisa disahkan. Mau dikebut dengan metode apa pun, apalagi ini adalah penghitungan manual, mustahil KPU menyelesaikan sisa pekerjaan dalam semalam.
Pelanggaran terhadap tenggat rekapitulasi itu berimplikasi sangat besar. Tidak semata tergesernya tahapan-tahapan pemilihan presiden yang pendaftarannya sudah dimulai sejak 10 hingga 16 Mei mendatang. Kredibilitas pemilu pun terancam. Bagaimana pemilu bisa kredibel kalau dihasilkan dari sebuah lembaga penyelenggara yang sangat diragukan kredibilitasnya? Lembaga yang bekerja asal memenuhi target dan mengabaikan akurasi?
Yang lebih memprihatinkan, selain bekerja asal memenuhi target, KPU pun kini antikoreksi. Semua keberatan saksi atas rekapitulasi, meski ada perbedaan mencolok atas total suara di suatu dapil, tidak digubris. Semua keberatan saksi dilempar penyelesaiannya ke Mahkamah Konstitusi.
Sikap KPU yang demikian tentu harus dikoreksi. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak boleh sungkan-sungkan membawa persoalan itu ke Dewan Kehormatan KPU. Bahkan kalau perlu, ke pengadilan.
Langkah Bawaslu yang membawa sejumlah perkara tindak pidana pemilu ke polisi semestinya direspons secara proporsional. Bukan membiarkannya berlalu begitu saja. Jadi, kita sesungguhnya sedang berada dalam bahaya. Bahaya tergerusnya jiwa demokrasi yang mengedepankan akuntabilitas, transparansi, dan tanggung jawab. Adalah berbahaya juga ketika semua keberatan dalam pemilu dilempar penyelesaiannya ke Mahkamah Konstitusi.
Sumber : mediaindonesia.com, Kamis, 07 Mei 2009 00:00 WIB
Comments :
0 komentar to “Lagi dan lagi KPU Tabrak Tenggat”
Posting Komentar