OTONOMI daerah mengubah secara signifikan tata kelola pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi di berbagai bidang. Namun, delapan tahun sejak banyak kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan ke daerah, ternyata lebih banyak mengecewakan daripada memuaskan. Mengecewakan, karena tujuan utama otonomi daerah justru semakin jauh dari pencapaian.
Undang-Undang 32/2004 yang menjadi landasan pelaksanaan otonomi daerah mengamanatkan bahwa tujuan otonomi adalah untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Otonomi dilakukan juga dengan harapan agar daerah memiliki daya saing dan keunggulan lokal.
Semua itu mestinya bisa dicapai karena berbagai perubahan untuk mewujudkan misi itu telah dilakukan. Dari segi pengelolaan anggaran, misalnya, lebih dari 67% porsi anggaran belanja negara telah berpindah pengelolaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dari jumlah aparatur pemerintah, juga telah terjadi perpindahan pegawai negeri sipil dari pusat ke daerah mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Ada lebih banyak pegawai negeri di daerah daripada di pusat. Dengan demikian, ada lebih banyak lagi urusan pusat yang diserahkan kepada daerah.
Akan tetapi, bersama berpindahnya kewenangan pusat ke daerah, nyatanya tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih jauh dari tercapai. Buktinya, jumlah orang miskin tidak menurun, bahkan dalam level tertentu justru meningkat dan menjadi fenomena yang mudah ditemukan di mana-mana.
Yang juga memprihatinkan adalah bersama berpindahnya pengelolaan anggaran negara dari pusat ke daerah, berpindah pula praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kasus-kasus korupsi yang semula lebih sering terungkap di pusat, kini menjadi fenomena yang jamak terjadi di daerah-daerah, dalam bobot dan skala yang tidak kalah hebat.
Selain tidak menyembuhkan penyakit lama, otonomi daerah juga telah menciptakan penyakit baru. Kewenangan lebih besar yang dimiliki daerah telah merangsang elite daerah melahirkan wilayah pemekaran atas dasar kepentingan yang sangat sempit, yaitu kepentingan pribadi dan primordial.
Kini, delapan tahun sudah kebijakan otonomi daerah diimplementasikan. Namun, fakta empiris menunjukkan otonomi daerah itu jauh lebih banyak dinikmati elite daripada rakyat.
Desentralisasi adalah sebuah keniscayaan, tetapi misi utama otonomi daerah harus diluruskan kembali.
Caranya, kepala daerah harus dikontrol habis-habisan agar meninggalkan kepentingan sempit, agar melakukan reformasi birokrasi dan meningkatkan standar pelayanan publik di daerahnya. Kepala daerah yang gemar menaruh anggaran di SBI agar berbunga, sebaiknya dicopot saja dari jabatannya. Sebab itu menunjukkan dia malas berpikir, malas bekerja, lebih senang ongkang-ongkang....
Undang-Undang 32/2004 yang menjadi landasan pelaksanaan otonomi daerah mengamanatkan bahwa tujuan otonomi adalah untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Otonomi dilakukan juga dengan harapan agar daerah memiliki daya saing dan keunggulan lokal.
Semua itu mestinya bisa dicapai karena berbagai perubahan untuk mewujudkan misi itu telah dilakukan. Dari segi pengelolaan anggaran, misalnya, lebih dari 67% porsi anggaran belanja negara telah berpindah pengelolaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dari jumlah aparatur pemerintah, juga telah terjadi perpindahan pegawai negeri sipil dari pusat ke daerah mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Ada lebih banyak pegawai negeri di daerah daripada di pusat. Dengan demikian, ada lebih banyak lagi urusan pusat yang diserahkan kepada daerah.
Akan tetapi, bersama berpindahnya kewenangan pusat ke daerah, nyatanya tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih jauh dari tercapai. Buktinya, jumlah orang miskin tidak menurun, bahkan dalam level tertentu justru meningkat dan menjadi fenomena yang mudah ditemukan di mana-mana.
Yang juga memprihatinkan adalah bersama berpindahnya pengelolaan anggaran negara dari pusat ke daerah, berpindah pula praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kasus-kasus korupsi yang semula lebih sering terungkap di pusat, kini menjadi fenomena yang jamak terjadi di daerah-daerah, dalam bobot dan skala yang tidak kalah hebat.
Selain tidak menyembuhkan penyakit lama, otonomi daerah juga telah menciptakan penyakit baru. Kewenangan lebih besar yang dimiliki daerah telah merangsang elite daerah melahirkan wilayah pemekaran atas dasar kepentingan yang sangat sempit, yaitu kepentingan pribadi dan primordial.
Kini, delapan tahun sudah kebijakan otonomi daerah diimplementasikan. Namun, fakta empiris menunjukkan otonomi daerah itu jauh lebih banyak dinikmati elite daripada rakyat.
Desentralisasi adalah sebuah keniscayaan, tetapi misi utama otonomi daerah harus diluruskan kembali.
Caranya, kepala daerah harus dikontrol habis-habisan agar meninggalkan kepentingan sempit, agar melakukan reformasi birokrasi dan meningkatkan standar pelayanan publik di daerahnya. Kepala daerah yang gemar menaruh anggaran di SBI agar berbunga, sebaiknya dicopot saja dari jabatannya. Sebab itu menunjukkan dia malas berpikir, malas bekerja, lebih senang ongkang-ongkang....
Comments :
0 komentar to “Meluruskan kembali Misi Otonomi Daerah”
Posting Komentar