TIGA pasang calon presiden dan calon wakil presiden resmi mengikuti pemilihan presiden pada 8 Juli 2009. Mereka adalah Jusuf Kalla-Wiranto dari Partai Golkar dan Hanura, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dari Partai Demokrat dan mitra koalisinya, serta Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dari PDIP dan Gerindra.
Ketiga pasangan capres-cawapres tersebut telah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum pada Sabtu (16/5), hari terakhir pendaftaran. Satu lagi bukti, elite bangsa ini selalu memilih detik-detik terakhir, padahal pendaftaran dibuka sejak 11 Mei. Filsafat yang dipakai adalah bila bisa besok, mengapa harus sekarang? Maka jangan heran jika banyak urusan ditunda-tunda di Republik ini.
Jika dibedah, ketiga pasangan tersebut memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Kesamaannya, ketiga pasangan menggabungkan unsur sipil dan militer, suatu kombinasi yang masih dibutuhkan dalam budaya politik negeri ini. Selain itu, ketiganya juga mencerminkan pasangan paham kebangsaan, suatu bukti bahwa politik aliran berbasiskan agama kian tidak menemukan tempat berpijak di sini.
Dari ketiga pasangan itu yang paling tua adalah Jusuf Kalla (67 tahun), diikuti Boediono (66 tahun), Mega dan Wiranto (masing-masing 62 tahun) serta SBY 60 tahun. Yang paling muda adalah Prabowo (58 tahun).
Jadi, belum muncul pemimpin bangsa yang berumur 40-an. Ini sebuah kemunduran karena Bung Karno menjadi presiden pada umur 44 tahun dan Pak Harto pada umur 45 tahun.
Ada beberapa hal yang membedakan ketiga pasangan itu. JK-Wiranto memenuhi unsur Jawa-luar Jawa, suatu realitas politik yang juga masih harus dipertimbangkan secara serius. Megawati-Prabowo masih memenuhi unsur Jawa-luar Jawa dengan kadar campuran. Megawati mewarisi darah campuran Jawa-Sumatra, dan Prabowo adalah peranakan Jawa-Sulawesi Utara. Sedangkan SBY-Boediono keduanya murni dari Jawa, dan lebih sempit lagi dari Jawa Timur. SBY dari Pacitan dan Boediono dari Blitar.
Hal lain yang membedakan adalah hanya SBY-Boediono yang merupakan kombinasi parpol-nonparpol. Boediono dari dunia kampus, sedangkan dua pasangan lain berasal dari parpol.
Periode 2009-2014 kiranya dapatlah digolongkan sebagai masa 'cuci gudang'. Siapa pun yang menjadi presiden, selesailah sampai di situ. Selesailah sudah era bagi SBY, JK, Mega, dan Wiranto untuk mencalonkan diri kembali menjadi presiden pada 2014. Juga mestinya akhir bagi Boediono yang saat itu telah berumur 71 tahun. Yang tersisa tinggallah Prabowo dengan usia pada waktu itu 63 tahun.
Oleh karena itu, periode ini menjadi amat strategis bagi kaum muda untuk menyiapkan diri menjadi pemimpin nasional lima tahun mendatang. Saat itu tantangan bangsa ini sudah jauh berubah.
Siapa pun pemimpin muda yang tampil kelak harus mempertahankan identitas bangsa ini sebagai puak yang majemuk. Hanya dengan mempertahankan identitas keragaman itulah bangsa ini masih bisa melangkah tegap di tengah jagat ini. Identitas itu tidak boleh diabaikan, apalagi diberangus secara sadar oleh mereka yang berkuasa.
Hasil pemilu legislatif tahun 2009 dan tiga pasang capres-cawapres yang maju bertarung pada Pilpres 8 Juli 2009 menunjukkan bahwa terjadi pergeseran serius dalam khazanah politik Indonesia. Partai berbasis agama tidak berkembang, bahkan mengalami stagnasi. Pasangan capres-cawapres kali ini pun tidak memperlihatkan kombinasi nasionalis-agamais. Semua pasangan capres dan cawapres kali ini terutama berbasiskan paham kebangsaan.
Bangsa ini memang memerlukan pemimpin yang dapat menaungi semua golongan, semua etnik, dan semua agama. Pemimpin yang juga dapat meningkatkan taraf hidup rakyat, dan membawa bangsa ini mampu bersaing di level dunia.
Siapakah itu, biarlah rakyat yang menentukannya dengan hati dan pikirannya yang merdeka di bilik suara.
Ketiga pasangan capres-cawapres tersebut telah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum pada Sabtu (16/5), hari terakhir pendaftaran. Satu lagi bukti, elite bangsa ini selalu memilih detik-detik terakhir, padahal pendaftaran dibuka sejak 11 Mei. Filsafat yang dipakai adalah bila bisa besok, mengapa harus sekarang? Maka jangan heran jika banyak urusan ditunda-tunda di Republik ini.
Jika dibedah, ketiga pasangan tersebut memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Kesamaannya, ketiga pasangan menggabungkan unsur sipil dan militer, suatu kombinasi yang masih dibutuhkan dalam budaya politik negeri ini. Selain itu, ketiganya juga mencerminkan pasangan paham kebangsaan, suatu bukti bahwa politik aliran berbasiskan agama kian tidak menemukan tempat berpijak di sini.
Dari ketiga pasangan itu yang paling tua adalah Jusuf Kalla (67 tahun), diikuti Boediono (66 tahun), Mega dan Wiranto (masing-masing 62 tahun) serta SBY 60 tahun. Yang paling muda adalah Prabowo (58 tahun).
Jadi, belum muncul pemimpin bangsa yang berumur 40-an. Ini sebuah kemunduran karena Bung Karno menjadi presiden pada umur 44 tahun dan Pak Harto pada umur 45 tahun.
Ada beberapa hal yang membedakan ketiga pasangan itu. JK-Wiranto memenuhi unsur Jawa-luar Jawa, suatu realitas politik yang juga masih harus dipertimbangkan secara serius. Megawati-Prabowo masih memenuhi unsur Jawa-luar Jawa dengan kadar campuran. Megawati mewarisi darah campuran Jawa-Sumatra, dan Prabowo adalah peranakan Jawa-Sulawesi Utara. Sedangkan SBY-Boediono keduanya murni dari Jawa, dan lebih sempit lagi dari Jawa Timur. SBY dari Pacitan dan Boediono dari Blitar.
Hal lain yang membedakan adalah hanya SBY-Boediono yang merupakan kombinasi parpol-nonparpol. Boediono dari dunia kampus, sedangkan dua pasangan lain berasal dari parpol.
Periode 2009-2014 kiranya dapatlah digolongkan sebagai masa 'cuci gudang'. Siapa pun yang menjadi presiden, selesailah sampai di situ. Selesailah sudah era bagi SBY, JK, Mega, dan Wiranto untuk mencalonkan diri kembali menjadi presiden pada 2014. Juga mestinya akhir bagi Boediono yang saat itu telah berumur 71 tahun. Yang tersisa tinggallah Prabowo dengan usia pada waktu itu 63 tahun.
Oleh karena itu, periode ini menjadi amat strategis bagi kaum muda untuk menyiapkan diri menjadi pemimpin nasional lima tahun mendatang. Saat itu tantangan bangsa ini sudah jauh berubah.
Siapa pun pemimpin muda yang tampil kelak harus mempertahankan identitas bangsa ini sebagai puak yang majemuk. Hanya dengan mempertahankan identitas keragaman itulah bangsa ini masih bisa melangkah tegap di tengah jagat ini. Identitas itu tidak boleh diabaikan, apalagi diberangus secara sadar oleh mereka yang berkuasa.
Hasil pemilu legislatif tahun 2009 dan tiga pasang capres-cawapres yang maju bertarung pada Pilpres 8 Juli 2009 menunjukkan bahwa terjadi pergeseran serius dalam khazanah politik Indonesia. Partai berbasis agama tidak berkembang, bahkan mengalami stagnasi. Pasangan capres-cawapres kali ini pun tidak memperlihatkan kombinasi nasionalis-agamais. Semua pasangan capres dan cawapres kali ini terutama berbasiskan paham kebangsaan.
Bangsa ini memang memerlukan pemimpin yang dapat menaungi semua golongan, semua etnik, dan semua agama. Pemimpin yang juga dapat meningkatkan taraf hidup rakyat, dan membawa bangsa ini mampu bersaing di level dunia.
Siapakah itu, biarlah rakyat yang menentukannya dengan hati dan pikirannya yang merdeka di bilik suara.
Comments :
0 komentar to “Pilpres Cuci Gudang”
Posting Komentar