KETERBUKAAN dan akuntabilitas agaknya belum menjadi kesadaran kuat kalangan penyelenggara negara. Karena itu, selalu muncul pikiran yang menggoda untuk apa dibuat terbuka kalau ada peluang untuk ditutup-tutupi. Buat apa dibuat terang kalau masih mungkin digelapkan.
Itulah yang mengemuka dalam kasus seleksi calon pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan. Kalangan yang tidak puas dengan ketergesaan yang dicurigai sebagai kesengajaan itu menuntut agar seleksi diulang. Tanpa banyak gembar-gembor, Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat melakukan seleksi calon pimpinan BPK periode 2009-2014.
Waktu yang disediakan bagi peminat terbilang amat singkat. Cuma empat hari, yaitu dari 20 April sampai 23 April lalu. Dan, pemberitahuan kepada publik hanya dilakukan satu kali melalui iklan di sebuah media cetak nasional. Walhasil, terdaftarlah 51 nama peminat. Sejumlah anggota DPR yang tidak terpilih lagi terdaftar di sana bersama sederetan mantan pejabat. Unsur swasta dan kalangan profesional nyaris tidak mendapat tempat. Salah seorang pemimpin DPR yang cemas akan keterpilihannya dalam pemilu legislatif konon sempat pula mendaftar.
Adalah Dewan Perwakilan Daerah yang menuntut agar seleksi diulang. Sejumlah anggota DPD berpendapat tidak mungkin menjaring peminat dari seluruh Indonesia hanya dalam waktu empat hari dan cuma melalui satu kali iklan di sebuah media cetak. Agak berbeda, memang, perlakuan DPR terhadap rekrutmen pimpinan BPK. Bila rekrutmen terhadap pimpinan lembaga yang lain, semisal Gubernur Bank Indonesia, Kapolri, dan Panglima TNI, DPR sangat terbuka dan vokal, mengapa terhadap BPK kok demikian sepi dan terburu-buru? Bahkan terkesan lari dari keterbukaan dan akuntabilitas?
DPR agaknya tidak menghiraukan desakan DPD agar dilakukan seleksi ulang. Padahal masa jabatan pimpinan BPK sekarang berakhir 19 Oktober 2009, masih lima bulan lagi. Resistensi DPR itu memperlihatkan tabiat untuk memperlakukan BPK seperti Dewan Pertimbangan Agung di masa lalu. Ketika itu DPA menjadi lembaga belas kasihan negara kepada pejabat-pejabat atau orang-orang yang dipakai tidak bisa, tetapi dibuang sayang.
Badan Pemeriksa Keuangan tidak boleh diperlakukan sebagai tempat persinggahan mereka-mereka yang haus akan jabatan di lembaga publik. Bukan juga menjadi tempat penampungan mantan anggota DPR atau pejabat. Ini, BPK adalah lembaga penting. Kompetensi di bidang audit adalah syarat umum dan mutlak. Tidak bisa politikus atau para pejabat dan mantan pejabat yang menjadi sasaran audit karena sebagai pengguna APBN bertengger di sana. Kalau mereka, para politikus dan mantan pejabat, memiliki kompetensi untuk duduk di BPK, sekurang-kurangnya dua tahun tidak berada pada lembaga dan jabatan di lembaga bersangkutan. Itu adalah etika yang harus dipegang mereka yang melamar dan terutama oleh DPR menyeleksi.
BPK, sama seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, adalah lembaga yang superpenting karena praktik korupsi yang merajalela di negeri ini. Tidak boleh lembaga vital seperti itu diisi orang-orang yang sarat kepentingan yang berpotensi melemahkan semangat pemberantasan.
Dalam kasus BPK, terlihat jelas bahwa DPR hanya menjalankan peraturan dengan semangat formalisme. Semangat itu biasanya muncul sebagai jebakan untuk mengingkari substansi.
Padahal, kita tahu, prosedur yang baik akan menghasilkan output yang baik. Jadi, prosedur yang baik sama pentingnya dengan output yang baik. Tidak bisa, tentunya, mementingkan prosedur lalu mengorbankan output.
Sumber : mediaindonesia.com
Itulah yang mengemuka dalam kasus seleksi calon pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan. Kalangan yang tidak puas dengan ketergesaan yang dicurigai sebagai kesengajaan itu menuntut agar seleksi diulang. Tanpa banyak gembar-gembor, Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat melakukan seleksi calon pimpinan BPK periode 2009-2014.
Waktu yang disediakan bagi peminat terbilang amat singkat. Cuma empat hari, yaitu dari 20 April sampai 23 April lalu. Dan, pemberitahuan kepada publik hanya dilakukan satu kali melalui iklan di sebuah media cetak nasional. Walhasil, terdaftarlah 51 nama peminat. Sejumlah anggota DPR yang tidak terpilih lagi terdaftar di sana bersama sederetan mantan pejabat. Unsur swasta dan kalangan profesional nyaris tidak mendapat tempat. Salah seorang pemimpin DPR yang cemas akan keterpilihannya dalam pemilu legislatif konon sempat pula mendaftar.
Adalah Dewan Perwakilan Daerah yang menuntut agar seleksi diulang. Sejumlah anggota DPD berpendapat tidak mungkin menjaring peminat dari seluruh Indonesia hanya dalam waktu empat hari dan cuma melalui satu kali iklan di sebuah media cetak. Agak berbeda, memang, perlakuan DPR terhadap rekrutmen pimpinan BPK. Bila rekrutmen terhadap pimpinan lembaga yang lain, semisal Gubernur Bank Indonesia, Kapolri, dan Panglima TNI, DPR sangat terbuka dan vokal, mengapa terhadap BPK kok demikian sepi dan terburu-buru? Bahkan terkesan lari dari keterbukaan dan akuntabilitas?
DPR agaknya tidak menghiraukan desakan DPD agar dilakukan seleksi ulang. Padahal masa jabatan pimpinan BPK sekarang berakhir 19 Oktober 2009, masih lima bulan lagi. Resistensi DPR itu memperlihatkan tabiat untuk memperlakukan BPK seperti Dewan Pertimbangan Agung di masa lalu. Ketika itu DPA menjadi lembaga belas kasihan negara kepada pejabat-pejabat atau orang-orang yang dipakai tidak bisa, tetapi dibuang sayang.
Badan Pemeriksa Keuangan tidak boleh diperlakukan sebagai tempat persinggahan mereka-mereka yang haus akan jabatan di lembaga publik. Bukan juga menjadi tempat penampungan mantan anggota DPR atau pejabat. Ini, BPK adalah lembaga penting. Kompetensi di bidang audit adalah syarat umum dan mutlak. Tidak bisa politikus atau para pejabat dan mantan pejabat yang menjadi sasaran audit karena sebagai pengguna APBN bertengger di sana. Kalau mereka, para politikus dan mantan pejabat, memiliki kompetensi untuk duduk di BPK, sekurang-kurangnya dua tahun tidak berada pada lembaga dan jabatan di lembaga bersangkutan. Itu adalah etika yang harus dipegang mereka yang melamar dan terutama oleh DPR menyeleksi.
BPK, sama seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, adalah lembaga yang superpenting karena praktik korupsi yang merajalela di negeri ini. Tidak boleh lembaga vital seperti itu diisi orang-orang yang sarat kepentingan yang berpotensi melemahkan semangat pemberantasan.
Dalam kasus BPK, terlihat jelas bahwa DPR hanya menjalankan peraturan dengan semangat formalisme. Semangat itu biasanya muncul sebagai jebakan untuk mengingkari substansi.
Padahal, kita tahu, prosedur yang baik akan menghasilkan output yang baik. Jadi, prosedur yang baik sama pentingnya dengan output yang baik. Tidak bisa, tentunya, mementingkan prosedur lalu mengorbankan output.
Sumber : mediaindonesia.com
Comments :
0 komentar to “Seleksi di Lorong Gelap”
Posting Komentar