BAK halilintar menyambar di siang bolong, mendadak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan ingin mengaudit Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Audit itu menyangkut anggaran dan peralatan yang digunakan KPK.
Keinginan BPKP itu sarat dengan muatan politis. Pertama, karena Kepala BPKP Didi Widayadi langsung mendatangi KPK sehari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merisaukan kekuasaan KPK yang terlampau besar tanpa kontrol.
Kedua, masih menurut Didi, audit KPK itu atas perintah Presiden Yudhoyono. Perintah yang tidak pada tempatnya. Sebab, BPKP adalah organ pemerintah, yang wewenangnya terbatas, yaitu melakukan audit internal terhadap lembaga-lembaga yang berada di bawah Presiden.

KPK jelas bukan lembaga di bawah presiden. KPK adalah lembaga negara, bahkan merupakan superbody yang dibentuk berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 untuk menghajar korupsi.
Karena itu tidak ada kewenangan BPKP sedikit pun untuk mengaudit KPK. Satu-satunya lembaga yang berwenang mengaudit KPK adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang eksistensinya memang termaktub dalam konstitusi.
Akan tetapi, meski Presiden telah menegaskan bahwa BPKP tidak berwenang mengaudit KPK, Didi Widayadi tetap ngotot dan menyatakan BPKP berhak mengaudit KPK. Dia berkilah dengan merujuk pasal 4 UUD 1945, bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD dan sejumlah undang-undang lain yang intinya tentang kewenangan Presiden.
Bahkan, dia pun mengedepankan aturan hukum yang lebih rendah daripada undang-undang, yaitu Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
BPKP melakukan dua kelancangan. Pertama, BPKP terangan-terangan melawan Presiden dengan tetap berniat mengaudit lembaga negara yang bukan menjadi kewenangannya. Kedua, mencatut nama Presiden bahwa Presiden yang memerintahkan BPKP mengaudit KPK.
Dua kelancangan itu menempatkan Presiden SBY pada posisi terpojok di tengah masa kampanye presiden dan wakil presiden yang kian gencar. Presiden seolah-olah tidak memahami peraturan sehingga menugaskan BPKP mengaudit KPK.
Tapi layak muncul pertanyaan, apakah seorang Kepala BPKP berani selancang itu? Bukankah sebelumnya muncul kesan bahwa Presiden memandang perlu agar KPK dikontrol? Tidakkah audit BPKP itu merupakan cara untuk mengawasi KPK?.
Presiden Yudhoyono secara khusus telah menggelar konferensi pers membantah pernyataan Didi mengenai adanya perintah Presiden untuk mengaudit KPK. Presiden pun mengeluarkan pernyataan bahwa BPKP hanya berwenang mengaudit lembaga pemerintah, bukan mengaudit lembaga negara.
Tapi semua itu tidak cukup. Publik ingin mendengar pernyataan yang lebih lugas dari Presiden, yaitu Presiden melarang BPKP mengaudit KPK. Bila tidak ada perintah larangan itu, publik berhak berprasangka bahwa Presiden melakukan pembiaran.
Jangan lupa, BPKP melakukan audit berdasarkan order. Karena itu pertanyaan paling mendasar adalah siapa atau lembaga mana yang memberi order kepada BPKP untuk mengaudit KPK? Pertanyaan ini harus secara jujur dijawab oleh Didi Widayadi.
Tidak dapat disangkal, aroma mengamputasi KPK sangat kental. Pemerintah dan DPR amat lambat menyelesaikan agenda legislasi membahas RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, padahal tenggat tinggal empat bulan hingga akhir Desember nanti. Yang dikhawatirkan adalah keinginan 'membunuh' KPK itu dengan meminjam tangan BPKP.
KPK tentu saja bukan lembaga yang kebal audit. KPK harus bisa diaudit. Untuk itu, BPK yang harus melakukannya. Oleh karena itu, BPK jangan diam saja dalam perkara ini.
Sumber : mediaindonesia.com, Senin, 29 Juni 2009 00:00 WIB
Keinginan BPKP itu sarat dengan muatan politis. Pertama, karena Kepala BPKP Didi Widayadi langsung mendatangi KPK sehari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merisaukan kekuasaan KPK yang terlampau besar tanpa kontrol.
Kedua, masih menurut Didi, audit KPK itu atas perintah Presiden Yudhoyono. Perintah yang tidak pada tempatnya. Sebab, BPKP adalah organ pemerintah, yang wewenangnya terbatas, yaitu melakukan audit internal terhadap lembaga-lembaga yang berada di bawah Presiden.

KPK jelas bukan lembaga di bawah presiden. KPK adalah lembaga negara, bahkan merupakan superbody yang dibentuk berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 untuk menghajar korupsi.
Karena itu tidak ada kewenangan BPKP sedikit pun untuk mengaudit KPK. Satu-satunya lembaga yang berwenang mengaudit KPK adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang eksistensinya memang termaktub dalam konstitusi.
Akan tetapi, meski Presiden telah menegaskan bahwa BPKP tidak berwenang mengaudit KPK, Didi Widayadi tetap ngotot dan menyatakan BPKP berhak mengaudit KPK. Dia berkilah dengan merujuk pasal 4 UUD 1945, bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD dan sejumlah undang-undang lain yang intinya tentang kewenangan Presiden.
Bahkan, dia pun mengedepankan aturan hukum yang lebih rendah daripada undang-undang, yaitu Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
BPKP melakukan dua kelancangan. Pertama, BPKP terangan-terangan melawan Presiden dengan tetap berniat mengaudit lembaga negara yang bukan menjadi kewenangannya. Kedua, mencatut nama Presiden bahwa Presiden yang memerintahkan BPKP mengaudit KPK.
Dua kelancangan itu menempatkan Presiden SBY pada posisi terpojok di tengah masa kampanye presiden dan wakil presiden yang kian gencar. Presiden seolah-olah tidak memahami peraturan sehingga menugaskan BPKP mengaudit KPK.
Tapi layak muncul pertanyaan, apakah seorang Kepala BPKP berani selancang itu? Bukankah sebelumnya muncul kesan bahwa Presiden memandang perlu agar KPK dikontrol? Tidakkah audit BPKP itu merupakan cara untuk mengawasi KPK?.
Presiden Yudhoyono secara khusus telah menggelar konferensi pers membantah pernyataan Didi mengenai adanya perintah Presiden untuk mengaudit KPK. Presiden pun mengeluarkan pernyataan bahwa BPKP hanya berwenang mengaudit lembaga pemerintah, bukan mengaudit lembaga negara.
Tapi semua itu tidak cukup. Publik ingin mendengar pernyataan yang lebih lugas dari Presiden, yaitu Presiden melarang BPKP mengaudit KPK. Bila tidak ada perintah larangan itu, publik berhak berprasangka bahwa Presiden melakukan pembiaran.
Jangan lupa, BPKP melakukan audit berdasarkan order. Karena itu pertanyaan paling mendasar adalah siapa atau lembaga mana yang memberi order kepada BPKP untuk mengaudit KPK? Pertanyaan ini harus secara jujur dijawab oleh Didi Widayadi.
Tidak dapat disangkal, aroma mengamputasi KPK sangat kental. Pemerintah dan DPR amat lambat menyelesaikan agenda legislasi membahas RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, padahal tenggat tinggal empat bulan hingga akhir Desember nanti. Yang dikhawatirkan adalah keinginan 'membunuh' KPK itu dengan meminjam tangan BPKP.
KPK tentu saja bukan lembaga yang kebal audit. KPK harus bisa diaudit. Untuk itu, BPK yang harus melakukannya. Oleh karena itu, BPK jangan diam saja dalam perkara ini.
Sumber : mediaindonesia.com, Senin, 29 Juni 2009 00:00 WIB
Comments :
0 komentar to “Kelancangan BPKP”
Posting Komentar