KOMISI Pemilihan Umum (KPU) melontarkan gagasan penting, sangat penting, yaitu agar hanya dengan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) warga dapat mencontreng pada pemilu presiden mendatang. Jadi, sekalipun tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), dengan menunjukkan KTP, hak memilih dapat digenapkan.
Gagasan yang sangat penting itu kemudian seperti lenyap ditelan waktu. Dapat dimengerti, karena perihal DPT itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Bukankah KPU tidak berwenang mengubah undang-undang?
Padahal, penggunaan KTP itu merupakan terobosan jitu untuk mengatasi persoalan DPT yang tiada kunjung beres.
Masalah DPT terjadi pada pemilu legislatif, dan meski pemilihan presiden (pilpres) tinggal 16 hari lagi, persoalan DPT tetap tidak kunjung beres. Ketidakberesan itu tampak pada wacana yang dikembangkan bahwa DPT pilpres yang ditetapkan pada 31 Mei sebanyak 176.367.056 pemilih mungkin mengalami perubahan. Hal itu karena ada pemilih di 10 kabupaten/kota yang tercantum dalam daftar sementara tiba-tiba hilang dari DPT.
Mestinya, KPU langsung memasukkan dalam DPT pilpres warga yang belum terdaftar. Mekanisme pendaftaran calon pemilih jangan sampai meniadakan hak dasar warga untuk memilih.
Itulah persoalan yang telah mencoreng kualitas pemilu legislatif. Harus jujur diakui, persoalan DPT telah menyebabkan pemilu legislatif yang digelar pada 9 April lalu terburuk sepanjang sejarah. Sedikitnya 40% warga yang mempunyai hak pilih tidak memilih.
Di antaranya karena nama mereka tidak tercantum dalam DPT pemilu legislatif. Akan tetapi, penambahan jumlah pemilih pilpres hanya 5 juta orang dari jumlah pemilih pemilu legislatif adalah jumlah yang sangat tidak signifikan jika dibandingkan dengan bengkaknya jumlah golput.
Itu bisa berarti masih banyak warga yang mempunyai hak pilih tetapi tidak tercantum dalam DPT pilpres.
Dugaan banyaknya warga yang belum terdaftar itu menemukan pembenarannya dalam temuan Badan Pengawas Pemilu bahwa masih ada persoalan DPT pilpres di 15 provinsi. Untuk itulah gagasan KPU agar warga yang belum tercantum dalam DPT diperkenankan ikut memilih dengan menunjukkan KTP merupakan terobosan yang menggembirakan.
Pemegang KTP pastilah warga yang mempunyai hak pilih karena syarat untuk memiliki KTP adalah sama dengan syarat untuk menjadi pemilih. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, KTP adalah identitas resmi penduduk yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin.
Itulah pula salah satu syarat menjadi pemilih. Adalah sebuah pelanggaran konstitusi jika masalah administrasi DPT mengakibatkan hilangnya hak konstitusi seorang warga negara untuk ikut menentukan perjalanan bangsa lima tahun ke depan.
Oleh karena itu, melalui forum ini kita mendorong KPU untuk membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi agar melakukan peninjauan ulang terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berkaitan dengan DPT, sehingga dengan menunjukkan KTP warga dapat menggunakan hak pilihnya.
Gagasan yang sangat penting itu kemudian seperti lenyap ditelan waktu. Dapat dimengerti, karena perihal DPT itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Bukankah KPU tidak berwenang mengubah undang-undang?
Padahal, penggunaan KTP itu merupakan terobosan jitu untuk mengatasi persoalan DPT yang tiada kunjung beres.
Masalah DPT terjadi pada pemilu legislatif, dan meski pemilihan presiden (pilpres) tinggal 16 hari lagi, persoalan DPT tetap tidak kunjung beres. Ketidakberesan itu tampak pada wacana yang dikembangkan bahwa DPT pilpres yang ditetapkan pada 31 Mei sebanyak 176.367.056 pemilih mungkin mengalami perubahan. Hal itu karena ada pemilih di 10 kabupaten/kota yang tercantum dalam daftar sementara tiba-tiba hilang dari DPT.
Mestinya, KPU langsung memasukkan dalam DPT pilpres warga yang belum terdaftar. Mekanisme pendaftaran calon pemilih jangan sampai meniadakan hak dasar warga untuk memilih.
Itulah persoalan yang telah mencoreng kualitas pemilu legislatif. Harus jujur diakui, persoalan DPT telah menyebabkan pemilu legislatif yang digelar pada 9 April lalu terburuk sepanjang sejarah. Sedikitnya 40% warga yang mempunyai hak pilih tidak memilih.
Di antaranya karena nama mereka tidak tercantum dalam DPT pemilu legislatif. Akan tetapi, penambahan jumlah pemilih pilpres hanya 5 juta orang dari jumlah pemilih pemilu legislatif adalah jumlah yang sangat tidak signifikan jika dibandingkan dengan bengkaknya jumlah golput.
Itu bisa berarti masih banyak warga yang mempunyai hak pilih tetapi tidak tercantum dalam DPT pilpres.
Dugaan banyaknya warga yang belum terdaftar itu menemukan pembenarannya dalam temuan Badan Pengawas Pemilu bahwa masih ada persoalan DPT pilpres di 15 provinsi. Untuk itulah gagasan KPU agar warga yang belum tercantum dalam DPT diperkenankan ikut memilih dengan menunjukkan KTP merupakan terobosan yang menggembirakan.
Pemegang KTP pastilah warga yang mempunyai hak pilih karena syarat untuk memiliki KTP adalah sama dengan syarat untuk menjadi pemilih. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, KTP adalah identitas resmi penduduk yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin.
Itulah pula salah satu syarat menjadi pemilih. Adalah sebuah pelanggaran konstitusi jika masalah administrasi DPT mengakibatkan hilangnya hak konstitusi seorang warga negara untuk ikut menentukan perjalanan bangsa lima tahun ke depan.
Oleh karena itu, melalui forum ini kita mendorong KPU untuk membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi agar melakukan peninjauan ulang terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berkaitan dengan DPT, sehingga dengan menunjukkan KTP warga dapat menggunakan hak pilihnya.
Comments :
0 komentar to “KTP UNTUK PILPRES”
Posting Komentar