Gubuk berukuran 3 x 4 meter yang berlokasi di Kampung Bojongkoneng, Desa Wangisagara, Kec. Majalaya, Kab. Bandung itu sekilas tidak tampak istimewa. Di dalamnya hanya ada perapian berbahan bakar arang atau kayu bakar yang tidak begitu terawat. Selain itu, hanya ada tumpukan besi tua, sejumlah perkakas, serta bangku kayu yang kerap menjadi tempat beristirahat si empunya gubuk.
Meski sederhana, gubuk tersebut nyatanya memiliki pesona bagi sebagian orang yang kerap singgah dan kembali datang hingga beberapa kali di lain waktu. Seperti halnya Endang Suryana (55) yang saat ditemui "PR" beberapa waktu lalu mengaku kunjungan ke gubuk tersebut sudah yang ketiga kali dilakoninya.
"Sekarang saya hanya bermaksud membenarkan golok supaya enak lagi saat digunakan untuk menebas kayu," kata warga Kampung Pasirluhur, Desa Wangsagara, Kecamatan Majalaya yang sehari-hari bekerja sebagai petani ini. Sebelumnya, ia telah lebih dulu mendatangi gubuk tersebut untuk membuat ketiga golok yang dimilikinya. Masing-masing golok dia fungsikan untuk kebutuhan yang berbeda-beda.
Cukup baiknya kualitas bahan baku dan tahan lamanya kekuatan golok yang dibuat di gubuk tersebut membuat Endang selalu kembali ke tempat itu. "Apalagi tiap kali rusak, goloknya masih bisa diperbaiki di sini," ujarnya.
Adalah Aceng Ahmad (79), si pemilik gubuk yang kerap dituju warga tersebut. Sudah hampir 46 tahun lamanya dia bergelut dengan proses pembuatan golok ini, meskipun gubuk yang digunakannya sebagai bengkel kerja tersebut baru ditempatinya pada tahun 1983.
Beragam jenis golok dengan berbagai fungsi dan ukuran serta peralatan pertanian lainnya dapat dibuatnya. Ilmu membuat golok tersebut diperolehnya dari orang tua yang telah lebih dulu menggeluti usaha tersebut.
Menurut Aceng, membuat golok tidak sulit. Yang sulit hanyalah memperoleh besi baja bekas per mobil yang akan digunakannya sebagai bahan baku utama pembuat golok. Ia bisa mendapatkan bahan baku golok itu dari tukang rongsokan.
Jika bahan baku sudah tersedia, pekerjaan yang harus dilakukan selanjutnya relatif lebih mudah. Besi per itu lalu dibakar dalam perapian hingga membara. Proses selanjutnya ialah menempa per tersebut hingga karatnya hilang dan sudah memperoleh ketebalan yang diinginkan. Setelah itu, per siap dibentuk sesuai keinginan. Bisa menjadi golok yang panjangnya bervariasi antara 5-75 cm atau kapak.
Golok tanpa pegangan dibanderolnya seharga Rp 25.000,00. Sementara itu, yang sudah lengkap dengan pegangan dan sangkurnya, harganya bisa dua kali lipat. Dalam sehari, dengan dibantu seorang pegawai, Aceng mengaku sanggup membuat lima sampai enam golok. Namun, itu pun tergantung pesanan.
"Kalaupun dibuat banyak, kalau tidak ada yang memesan, saya bingung harus menjualnya kepada siapa karena tidak ada tenaga yang mau menjajakannya," katanya.
Ia amat berharap agar pemerintah setempat mau mengulurkan sedikit bantuan untuk menyediakan semacam gerai yang bisa digunakan para perajin sepertinya untuk memajang karya yang dihasilkan. (Riesty Yusnilaningsih/"PR") ***
Meski sederhana, gubuk tersebut nyatanya memiliki pesona bagi sebagian orang yang kerap singgah dan kembali datang hingga beberapa kali di lain waktu. Seperti halnya Endang Suryana (55) yang saat ditemui "PR" beberapa waktu lalu mengaku kunjungan ke gubuk tersebut sudah yang ketiga kali dilakoninya.
"Sekarang saya hanya bermaksud membenarkan golok supaya enak lagi saat digunakan untuk menebas kayu," kata warga Kampung Pasirluhur, Desa Wangsagara, Kecamatan Majalaya yang sehari-hari bekerja sebagai petani ini. Sebelumnya, ia telah lebih dulu mendatangi gubuk tersebut untuk membuat ketiga golok yang dimilikinya. Masing-masing golok dia fungsikan untuk kebutuhan yang berbeda-beda.
Cukup baiknya kualitas bahan baku dan tahan lamanya kekuatan golok yang dibuat di gubuk tersebut membuat Endang selalu kembali ke tempat itu. "Apalagi tiap kali rusak, goloknya masih bisa diperbaiki di sini," ujarnya.
Adalah Aceng Ahmad (79), si pemilik gubuk yang kerap dituju warga tersebut. Sudah hampir 46 tahun lamanya dia bergelut dengan proses pembuatan golok ini, meskipun gubuk yang digunakannya sebagai bengkel kerja tersebut baru ditempatinya pada tahun 1983.
Beragam jenis golok dengan berbagai fungsi dan ukuran serta peralatan pertanian lainnya dapat dibuatnya. Ilmu membuat golok tersebut diperolehnya dari orang tua yang telah lebih dulu menggeluti usaha tersebut.
Menurut Aceng, membuat golok tidak sulit. Yang sulit hanyalah memperoleh besi baja bekas per mobil yang akan digunakannya sebagai bahan baku utama pembuat golok. Ia bisa mendapatkan bahan baku golok itu dari tukang rongsokan.
Jika bahan baku sudah tersedia, pekerjaan yang harus dilakukan selanjutnya relatif lebih mudah. Besi per itu lalu dibakar dalam perapian hingga membara. Proses selanjutnya ialah menempa per tersebut hingga karatnya hilang dan sudah memperoleh ketebalan yang diinginkan. Setelah itu, per siap dibentuk sesuai keinginan. Bisa menjadi golok yang panjangnya bervariasi antara 5-75 cm atau kapak.
Golok tanpa pegangan dibanderolnya seharga Rp 25.000,00. Sementara itu, yang sudah lengkap dengan pegangan dan sangkurnya, harganya bisa dua kali lipat. Dalam sehari, dengan dibantu seorang pegawai, Aceng mengaku sanggup membuat lima sampai enam golok. Namun, itu pun tergantung pesanan.
"Kalaupun dibuat banyak, kalau tidak ada yang memesan, saya bingung harus menjualnya kepada siapa karena tidak ada tenaga yang mau menjajakannya," katanya.
Ia amat berharap agar pemerintah setempat mau mengulurkan sedikit bantuan untuk menyediakan semacam gerai yang bisa digunakan para perajin sepertinya untuk memajang karya yang dihasilkan. (Riesty Yusnilaningsih/"PR") ***
Comments :
0 komentar to “Pesona Golok Buatan Aceng...”
Posting Komentar