Dua sosok perempuan Indonesia kini sedang merebut perhatian publik. Yang satu bernama Manohara Odelia Pinot dan yang satu lagi Prita Mulyasari.
Manohara, yang ngotot kawin pada usia muda dengan Pangeran Kelantan, tiba-tiba muncul menjadi wanita Indonesia yang sangat tersiksa karena kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan sang suami.
Sedangkan Prita menderita karena memperjuangkan haknya sebagai pasien sebuah rumah sakit. Keingintahuan dia untuk memperoleh hasil pemeriksaan laboratorium atas darahnya membawa ibu muda ini ke penjara. Pasalnya, dia mengeluh tentang pelayanan rumah sakit yang tidak memuaskan itu kepada teman-temannya melalui surat elektronik.
Kita, tentu, tidak ingin membicarakan Manohara di sini. Kita hanya mau fokus pada tragedi yang menimpa Prita. Karena tragedi Prita lebih mewakili kepentingan umum, sedangkan prahara Manohara lebih berada pada koridor privat.
Apa yang membuat penderitaan Prita menggugah perhatian kita? Pertama, ibu muda ini menderita karena mempertanyakan haknya. Kedua, soal kepatutan sehingga dia harus ditahan hanya karena berkeluh kesah tentang pelayanan sebuah rumah sakit melalui internet. Ketiga, digunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh jaksa dan polisi dalam kasus ini.
Undang-undang ini yang kelahirannya lebih didorong keinginan untuk mencegah cyber crime, dipakai juga dalam soal pencemaran nama baik sehingga mengancam kebebasan berpendapat.
Keempat, kasus Prita sekali lagi mempertegas tentang tabiat hukum dan penegakan keadilan di Indonesia yang masih sangat kuat berhamba pada yang kuasa dan yang beruang.
Prita beruntung karena kasusnya terungkap pada saat para pemimpin negeri ini sedang bersaing dalam kampanye pemilihan presiden. Saat mereka mengasah seluruh sensitivitas kemanusiaan dan keadilan sehingga berlomba-lomba menjadi juru selamat Prita.
Padahal, kita semua tahu bahwa masih banyak, bahkan sangat banyak manusia Indonesia harus menderita karena memperjuangkan hak mereka, atau karena memang tidak mengetahui hak mereka. Pencarian keadilan dan kebenaran di negeri kita masih saja menjadi persoalan yang mahal, berat, dan menyengsarakan. Karena, itu tadi. Penegak hukum masih tergoda untuk dibeli.
Rumah sakit swasta dengan kapital besar dan janji pelayanan prima, kini bermunculan. Tetapi yang kurang diperlihatkan adalah komitmen pada pemenuhan hak-hak dasar konsumen. Di rumah sakit, dokter dan paramedis muncul menjadi pribadi-pribadi super, sedangkan pasien diperlakukan sebagai orang yang tidak berdaya, bukan semata karena sedang menderita sakit, melainkan juga sebagai pribadi.
Karena kapital yang besar, rumah sakit, suka atau tidak suka, harus berbisnis. Pasien akhirnya diperlakukan sebagai komoditas.
Padahal, sebuah aspek pelayanan kesehatan yang juga tidak kalah penting adalah komunikasi antara rumah sakit, dokter, dan pasien. Kasus Prita tidak akan menjadi tragedi seperti ini seandainya terjalin komunikasi yang manusiawi.
Karena komunikasi macet, jalur hukum ditempuh. Maka, Prita-lah yang menderita karena dia orang lemah. Di sinilah nurani kita terganggu.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...
Manohara, yang ngotot kawin pada usia muda dengan Pangeran Kelantan, tiba-tiba muncul menjadi wanita Indonesia yang sangat tersiksa karena kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan sang suami.
Sedangkan Prita menderita karena memperjuangkan haknya sebagai pasien sebuah rumah sakit. Keingintahuan dia untuk memperoleh hasil pemeriksaan laboratorium atas darahnya membawa ibu muda ini ke penjara. Pasalnya, dia mengeluh tentang pelayanan rumah sakit yang tidak memuaskan itu kepada teman-temannya melalui surat elektronik.
Kita, tentu, tidak ingin membicarakan Manohara di sini. Kita hanya mau fokus pada tragedi yang menimpa Prita. Karena tragedi Prita lebih mewakili kepentingan umum, sedangkan prahara Manohara lebih berada pada koridor privat.
Apa yang membuat penderitaan Prita menggugah perhatian kita? Pertama, ibu muda ini menderita karena mempertanyakan haknya. Kedua, soal kepatutan sehingga dia harus ditahan hanya karena berkeluh kesah tentang pelayanan sebuah rumah sakit melalui internet. Ketiga, digunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh jaksa dan polisi dalam kasus ini.
Undang-undang ini yang kelahirannya lebih didorong keinginan untuk mencegah cyber crime, dipakai juga dalam soal pencemaran nama baik sehingga mengancam kebebasan berpendapat.
Keempat, kasus Prita sekali lagi mempertegas tentang tabiat hukum dan penegakan keadilan di Indonesia yang masih sangat kuat berhamba pada yang kuasa dan yang beruang.
Prita beruntung karena kasusnya terungkap pada saat para pemimpin negeri ini sedang bersaing dalam kampanye pemilihan presiden. Saat mereka mengasah seluruh sensitivitas kemanusiaan dan keadilan sehingga berlomba-lomba menjadi juru selamat Prita.
Padahal, kita semua tahu bahwa masih banyak, bahkan sangat banyak manusia Indonesia harus menderita karena memperjuangkan hak mereka, atau karena memang tidak mengetahui hak mereka. Pencarian keadilan dan kebenaran di negeri kita masih saja menjadi persoalan yang mahal, berat, dan menyengsarakan. Karena, itu tadi. Penegak hukum masih tergoda untuk dibeli.
Rumah sakit swasta dengan kapital besar dan janji pelayanan prima, kini bermunculan. Tetapi yang kurang diperlihatkan adalah komitmen pada pemenuhan hak-hak dasar konsumen. Di rumah sakit, dokter dan paramedis muncul menjadi pribadi-pribadi super, sedangkan pasien diperlakukan sebagai orang yang tidak berdaya, bukan semata karena sedang menderita sakit, melainkan juga sebagai pribadi.
Karena kapital yang besar, rumah sakit, suka atau tidak suka, harus berbisnis. Pasien akhirnya diperlakukan sebagai komoditas.
Padahal, sebuah aspek pelayanan kesehatan yang juga tidak kalah penting adalah komunikasi antara rumah sakit, dokter, dan pasien. Kasus Prita tidak akan menjadi tragedi seperti ini seandainya terjalin komunikasi yang manusiawi.
Karena komunikasi macet, jalur hukum ditempuh. Maka, Prita-lah yang menderita karena dia orang lemah. Di sinilah nurani kita terganggu.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...
Comments :
0 komentar to “Prita dan Nurani Kita”
Posting Komentar