ORANG-ORANG Golkar sekarang bertengkar. Setelah terjerembap dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, Golkar linglung memilih posisi berdiri.
Sebagian elite partai berlambang beringin ini ngebet membawa Golkar untuk dipersembahkan kepada pemerintah. Ini berarti Golkar harus berdiri dalam lingkaran koalisi partai-partai yang menjadi satelit Partai Demokrat.
Elite yang lain di partai ini menghendaki posisi berdiri di luar lingkaran satelit Partai Demokrat. Ada yang mengatakan posisi ini sama dengan oposisi, tetapi ada juga yang mengartikan posisi di luar pemerintahan tidak sama dengan oposisi.
Kelompok yang menghendaki bergabung dengan pemerintah berargumen bahwa darah Golkar memang darah pemerintah. Karena itu bagi mereka adalah sesuatu yang aneh jika Golkar beroposisi.
Adapun arus yang lain, terutama di kalangan kader-kader muda, menghendaki perubahan. Kekalahan telak Golkar dalam pemilu legislatif maupun presiden menuntut sebuah perubahan berani terhadap posisi berdiri. Inilah pikiran yang lebih berjuang, lebih bertekad, dan lebih berani mengambil risiko.
Pikiran pertama yang ingin membawa lagi Golkar ke kubu pemerintah adalah sikap mereka yang manja. Karena lama dimanja, mereka tidak lagi memiliki harapan dan keberanian untuk keluar dari rumah pemerintah. Berada di luar rumah pemerintah seakan dunia terasa gelap bagi orang-orang seperti ini. Inilah penyakit orang-orang manja.
Sedikitnya terdapat dua alasan mengapa Golkar sebaiknya berada di luar pemerintahan. Pertama, alasan internal. Membawa Golkar ke lingkaran satelit pemerintah hanya dengan bargaining satu atau dua kursi menteri tidak ada manfaatnya bagi partai dalam jangka panjang. Ini adalah nafsu individu yang dibungkus seakan-akan menjadi nafsu partai.
Jusuf Kalla dalam kapasitas yang lebih besar sebagai wakil presiden dan ketua umum partai tidak membawa kemenangan bagi Golkar, apalagi hanya bermodalkan kursi menteri. Jadi, jangan berharap akan memperoleh kapitalisasi besar bagi partai dari kehadiran satu-dua orang di dalam kabinet. Apalagi dalam lima tahun ke depan ketika Partai Demokrat mulai menyadari mereka sebagai pemenang fenomenal pilpres dan pemilu legislatif.
Kedua, alasan eksternal, atau alasan kenegaraan. Merapat ke pemerintah yang telah memiliki koalisi yang menguasai 56% kursi parlemen tidak membuat kehadiran Golkar penting. Bahkan akan mengundang bahaya karena membuat pemerintah superkuat dengan 70% lebih kursi DPR.
Pemerintah yang superkuat berarti pemerintah yang didampingi oposisi yang superlemah. Bila demikian, pemerintah akan suka-suka melakukan apa saja yang dikehendaki. Pemerintah yang superkuat, seperti yang terjadi pada Orde Baru, cenderung menjadi otoriter dan konspiratif.
Bila Golkar mengatakan berada dalam pemerintahan adalah tradisi pengabdian bagi negara dan bangsa, partai ini lupa bahwa membangun kontrol yang kuat terhadap pemerintah adalah juga menjadi tugas mulia bagi negara dan bangsa. Sebab negara yang kuat adalah negara yang disokong kehadiran pemerintahan yang kuat karena oposisi yang kuat.
Adalah sangat naif jika para kader Golkar tidak mengerti tentang oposisi sehingga tidak pernah mau berdiri dalam posisi itu. Kader-kader partai wajib tahu bahwa posisi berdiri sebuah partai cuma dua. Memerintah kalau menang, oposisi jika kalah.
Karena itu, aneh bila sebagian kader Golkar menganggap memerintah adalah hak dan tradisi partai berlambang beringin itu walaupun kalah pemilu. Ini tradisi kaum oportunis.
Sebagian elite partai berlambang beringin ini ngebet membawa Golkar untuk dipersembahkan kepada pemerintah. Ini berarti Golkar harus berdiri dalam lingkaran koalisi partai-partai yang menjadi satelit Partai Demokrat.
Elite yang lain di partai ini menghendaki posisi berdiri di luar lingkaran satelit Partai Demokrat. Ada yang mengatakan posisi ini sama dengan oposisi, tetapi ada juga yang mengartikan posisi di luar pemerintahan tidak sama dengan oposisi.
Kelompok yang menghendaki bergabung dengan pemerintah berargumen bahwa darah Golkar memang darah pemerintah. Karena itu bagi mereka adalah sesuatu yang aneh jika Golkar beroposisi.
Adapun arus yang lain, terutama di kalangan kader-kader muda, menghendaki perubahan. Kekalahan telak Golkar dalam pemilu legislatif maupun presiden menuntut sebuah perubahan berani terhadap posisi berdiri. Inilah pikiran yang lebih berjuang, lebih bertekad, dan lebih berani mengambil risiko.
Pikiran pertama yang ingin membawa lagi Golkar ke kubu pemerintah adalah sikap mereka yang manja. Karena lama dimanja, mereka tidak lagi memiliki harapan dan keberanian untuk keluar dari rumah pemerintah. Berada di luar rumah pemerintah seakan dunia terasa gelap bagi orang-orang seperti ini. Inilah penyakit orang-orang manja.
Sedikitnya terdapat dua alasan mengapa Golkar sebaiknya berada di luar pemerintahan. Pertama, alasan internal. Membawa Golkar ke lingkaran satelit pemerintah hanya dengan bargaining satu atau dua kursi menteri tidak ada manfaatnya bagi partai dalam jangka panjang. Ini adalah nafsu individu yang dibungkus seakan-akan menjadi nafsu partai.
Jusuf Kalla dalam kapasitas yang lebih besar sebagai wakil presiden dan ketua umum partai tidak membawa kemenangan bagi Golkar, apalagi hanya bermodalkan kursi menteri. Jadi, jangan berharap akan memperoleh kapitalisasi besar bagi partai dari kehadiran satu-dua orang di dalam kabinet. Apalagi dalam lima tahun ke depan ketika Partai Demokrat mulai menyadari mereka sebagai pemenang fenomenal pilpres dan pemilu legislatif.
Kedua, alasan eksternal, atau alasan kenegaraan. Merapat ke pemerintah yang telah memiliki koalisi yang menguasai 56% kursi parlemen tidak membuat kehadiran Golkar penting. Bahkan akan mengundang bahaya karena membuat pemerintah superkuat dengan 70% lebih kursi DPR.
Pemerintah yang superkuat berarti pemerintah yang didampingi oposisi yang superlemah. Bila demikian, pemerintah akan suka-suka melakukan apa saja yang dikehendaki. Pemerintah yang superkuat, seperti yang terjadi pada Orde Baru, cenderung menjadi otoriter dan konspiratif.
Bila Golkar mengatakan berada dalam pemerintahan adalah tradisi pengabdian bagi negara dan bangsa, partai ini lupa bahwa membangun kontrol yang kuat terhadap pemerintah adalah juga menjadi tugas mulia bagi negara dan bangsa. Sebab negara yang kuat adalah negara yang disokong kehadiran pemerintahan yang kuat karena oposisi yang kuat.
Adalah sangat naif jika para kader Golkar tidak mengerti tentang oposisi sehingga tidak pernah mau berdiri dalam posisi itu. Kader-kader partai wajib tahu bahwa posisi berdiri sebuah partai cuma dua. Memerintah kalau menang, oposisi jika kalah.
Karena itu, aneh bila sebagian kader Golkar menganggap memerintah adalah hak dan tradisi partai berlambang beringin itu walaupun kalah pemilu. Ini tradisi kaum oportunis.
Comments :
0 komentar to “Golkar di Persimpangan”
Posting Komentar