Ada joki di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ah, itu mungkin orang Bandung tahu, bahkan pernah menggunakan jasa pengendali kuda itu. Namun, kalau joki itu mengendalikan jawaban peserta seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), itu lain cerita. Tahun ini dunia pendidikan kembali terhenyak dengan terungkapnya sindikat perjokian dalam pelaksanaan SNMPTN di Makassar, Sulawesi Selatan, 1 Juli 2009.
Nama ITB pun disebut-sebut, karena setelah ditelisik, empat belas operator perjokian beridentitas mahasiswa perguruan tinggi teknik tertua di Indonesia tersebut. Institut yang masuk dalam jajaran World Class University sekaliber ITB, rupanya tak luput dari hal-hal demikian. Padahal, 1995 ITB pun pernah menjaring oknum mahasiswa dengan kasus serupa. Saat itu, dikatakan empat puluh mahasiswa ITB terlibat.
"Seperti halnya gempa bumi. Gempa yang membahayakan terjadi once in the life time, bisa seratus tahun sekali. Saking lamanya, siapa yang mau berpikir untuk pencegahan. Orang menjadi lupa. Begitu juga soal mahasiswa, karena sudah lama terjadi sehingga kita lengah," ujar Wakil Rektor Senior Bidang Akademik ITB Prof. Ir. Adang Surahman, M. Sc., Ph.D.
Pakar gempa tersebut menilai, butuh kesabaran menghadapi dinamika mahasiswa yang digambarkannya sebagai zig-zag. Tahun ini menerima mahasiswa dengan kualitas belum teruji benar, lalu mengasahnya, sehingga menjadi teruji. Namun, tahun depan sudah menerima mahasiswa serupa, lalu mengasahnya kembali. Demikian seterusnya.
"Secara statistik, ITB merupakan perguruan tinggi terbaik di bidang eksakta. Oleh karena itu, akan disayangkan apabila institut ini tidak diisi oleh mahasiswa dengan kualitas, termasuk iktikad yang baik," kata Ketua Persatuan Sepak Bola ITB itu. Atas dasar itulah, dalam jabatan yang diembannya sejak 2005, Adang yang bertugas menjabarkan kebijakan rektor itu fokus dalam peningkatan kualitas mahasiswa melalui sejumlah "inovasi".
Dalam tataran nasional, inovasi Ketua SNMPTN 2009 Panitia Lokal Bandung itu, tahun ini diakui melalui diterapkannya sistem penilaian sentilan dalam SNMPTN. Sistem sentilan mendudukkan setiap mata pelajaran dalam SNMPTN menjadi sederajat pentingnya. "Webometrics (lembaga pemeringkat perguruan tinggi sedunia) pun menjumlahkan peringkat dari komponen nilai, bukan menjumlahkan nilai," kata pria yang dikenal ramah di kalangan wartawan itu. Sementara inovasinya untuk ITB khususnya, termasuk sikapnya terhadap perjokian, terungkap dalam wawancara berikut.
Perjokian menurut Anda?
Itu kegagalan mendidik. Akan tetapi, mereka (empat belas joki) adalah mahasiswa yang baru satu hingga dua tahun di ITB. Saya ingin fair, apakah kita bisa mengubah watak dalam waktu tersebut. Begitu juga dengan pembinaan moral. Kurang fair jika seluruhnya dibebankan kepada perguruan tinggi. Pembinaan moral sudah dimulai sejak di lingkungan keluarga, sehingga saat di perguruan tinggi kepribadian sudah terlanjur dibentuk. Kalau bahan bakunya jelek, jangan diterima.
ITB cuci tangan, iya. Kalau tidak seperti itu justru sulit bagi ITB, karena kami tidak punya kepakaran di psikologi atau agama. ITB tidak diberi kompetensi untuk itu. Kuncinya adalah pengawasan SNMPTN yang tidak ketat, sehingga mereka yakin tidak tertangkap. Setelah tertangkap pun, tidak mudah memberikan sanksi. Seharusnya institusi akademik, tidak ragu memberi sanksi berat dan punya standar moral lebih tinggi daripada di masyarakat.
Di luar negeri, mengeluarkan kata-kata kotor sekalipun dikeluarkan, karena merupakan moral akademik. ITB memiliki standar moral, yang tertuang dalam kode etik maupun peraturan akademik dan kemahasiswaan. Tinggal pelaksanaannya saja.
Telah ada standar moral di ITB. Mengapa masih ditemukan kasus pelanggaran aturan tersebut?
Kelemahannya, ketika diimplementasikan pihak yang berkepentingan sering membela civitas academica terkait. Contohnya dalam kasus perploncoan banyak dosen prodi yang membela, sehingga lebih menyalahkan institusi. Itu agak berat. Akan tetapi, kalau perjokian rasanya semua sepakat mereka harus dihukum seberat-beratnya.
Dengan diskors pun, mereka bisa diberatkan oleh tiga hal sehingga bisa dikeluarkan. Pertama, mereka mengaku membantu kecurangan. Kedua, mencemarkan nama baik almamater. Ketiga, dia sudah menjadi mahasiswa ITB, tetapi mendaftar di universitas lain. Kalau dia ikut ujian lagi, artinya dia berniat untuk tidak masuk ITB, karena sudah punya peraturan untuk itu. Ya sudah keluar saja, apalagi kalau dia ikut ujian untuk kejahatan. Jika dipertahankan, justru akan menjadi preseden buruk bagi mahasiswa selanjutnya, karena tidak ada efek jera. Saya pikir ITB sudah melakukan pembenahan.
Oke, bisa lebih dijelaskan tentang pembenahan di ITB?
Saya contohkan melalui kasus DO (drop out) sebelum 2001, di ITB rata-rata mencapai 2% dari sekitar sebelas ribu mahasiswa S-1. Yang menjadi masalah adalah standar ketentuan peraturan belum dijalankan dengan baik, sehingga keputusan DO masih bisa diperdebatkan. Namun, semakin ke sini ITB semakin konsisten dalam peneguhan aturan (law enforcement), sehingga ketika dinyatakan DO mereka menyadari dan menerima memang sudah seharusnya seperti itu.
Dengan aturan yang lebih jelas dan ITB pun lebih tegas, angka DO cenderung menurun hingga 1,6% mulai 2005. Yang dilakukan adalah merapikan administrasi di dalam (internal ITB), bekerja dengan prosedur yang benar, serta menjelaskan secara transparan dan fair, sehingga dengan berbesar hati orang-orang mau menerima, baik itu yang bagus maupun yang pahit. Intinya, lebih kepada leadership dan sistem. Selama ini paradigma akuntabilitas belum dipegang, tetapi dengan menjadi BHMN (badan hukum milik negara), itu semakin menuntut ITB untuk mandiri dan bertanggung jawab dalam akuntabilitas.
Sejauh ini, apa misi Anda untuk ITB yang belum tercapai?
Yang saya anggap ideal sudah saya laksanakan. Pertama saya menerapkan penyaringan mahasiswa baru melalui SNMPTN dan USM (ujian saringan masuk/jalur khusus ITB). Sebetulnya secara formal itu seolah menjadi ajang bagi ITB mencari uang. Padahal, hal itu justru menerapkan keadilan sosial, karena orang mampu membayar sesuai kemampuan dia. Selagi perpajakan belum benar, mungkin itu yang bisa ditempuh. Dengan USM yang kami lakukan secara bertahap (di daerah dan terpusat di ITB), calon mahasiswa tahu gambaran kemampuan mereka, sehingga bisa menentukan jurusan yang sesuai. Yang kedua adalah penerimaan mahasiswa per fakultas agar mereka lebih mengetahui ilmu dasar dan mengenali jurusan. Mereka tidak hanya terkonsentrasikan di jurusan favorit, karena bisa jadi setelah dikenalkan jurusan lain, mereka tertarik di situ.
Saya pun berhasil mengusulkan minimal sembilan SKS (sistem kredit semester) diambil dari prodi lain. Hal itu, untuk membuka wawasan mereka, agar tidak terkotak-kotak. Ketika lulus kita belum tahu bekerja di mana. Namun, tidak semuanya diterima secara ikhlas oleh dosen dan universitas. Dalam visi dan misi ITB, yang pertama justru disebutkan menjadikan manusia berbudi luhur, bukan cerdas. Hanya, itu belum tercermin dalam kurikulum ITB. Hal itu kesulitan saya, ketika berbicara dengan teman-teman fakultas.
Mereka lebih ke ego profesional mereka. Jangankan aspek spritual dan moral, saya masukkan elemen mendasar dalam sains pun mendapat tantangan kuat. Ilmu spesialis cocok untuk yang akan menjadi tukang, tetapi kan lulusan akan mengurus manajerial sehingga membutuhkan ilmu yang bersifat general. Menentukan orientasi mata kuliah agama pun, saya harus berdebat keras. Saya menganggap itu sebagai bekal, tetapi ada yang menganggapnya sebagai pengetahuan. Itu pun hanya dua SKS. Sebab, dalam pembuatan kurikulum dikejar waktu, akhirnya kompromistis. Jadi, saya hanya bisa berpesan agar hal itu disiasati dengan menyisipkan ajaran tentang etika dan moral di mata kuliah lain. (Amaliya/"PR")***
Comments :
0 komentar to “Perjokian Itu Kegagalan Mendidik”
Posting Komentar