BAHAYA dan bahagia, kejahatan dan pahala, perang dan damai adalah sesuatu yang amat relatif di Indonesia. Ini, di satu sisi mengindikasikan sifat orang Indonesia yang tidak pernah berprasangka buruk, tetapi di lain sisi juga menunjukkan betapa pendek memori kolektif sebagai bangsa.
Ingatan pendek inilah yang menyebabkan inkonsistensi dalam sikap terhadap sebuah malapetaka. Sebagai contoh bisa ditunjukkan perilaku pemerintah terhadap terorisme, korupsi, dan narkoba.
Semua orang, termasuk pemerintah, sepakat bahwa terorisme, korupsi, dan narkoba adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa yang harus dilawan dengan konsistensi luar biasa pula.
Tetapi dalam praktik terlihat inkonsistensi itu.
Baru saja publik, bahkan dunia mengutuk terorisme setelah bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton yang menewaskan banyak penduduk sipil tidak berdosa di Jakarta. Tetapi pada tanggal 17 Agustus, bersamaan dengan sukacita bangsa merayakan 64 tahun kemerdekaan, para terpidana terorisme, korupsi, dan narkoba memperoleh remisi.
Mereka dianggap bagian dari terpidana biasa yang menurut undang-undang pantas memperoleh remisi. Adalah Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 yang tidak membedakan tiga jenis kejahatan tersebut dari kasus-kasus pidana umum.
Dengan demikian mereka juga berhak memperoleh remisi antara satu sampai enam bulan setelah menjalani 1/3 masa hukuman. Tidak mengherankan jika atas nama kemerdekaan dan sukacita, kita menyaksikan terpidana terorisme bebas pada 17 Agustus. Demikian juga halnya beberapa terpidana korupsi dan narkoba.
Mengapa kita tidak bisa memerangi korupsi? Mengapa seorang Noordin M Top masih leluasa beroperasi dan menciptakan pengikut yang semakin banyak? Mengapa narkotik semakin merebak dan merusak? Mengapa pembalakan liar tidak pernah surut?
Jawabnya, karena kita tidak pernah bersepakat tentang musuh dan bahaya bersama. Apa itu ancaman nasional, apa itu malapetaka, dan apa itu kejahatan. Semuanya serbarelatif dan bisa dimaafkan sehingga tidak ada efek jera bagi para pelaku dan calon pengikutnya.
Negara tidak cukup mendidik warga untuk membangun kesamaan sikap terhadap ancaman dan bahaya nasional. Negara malah mempertontonkan inkonsistensi yang melemahkan komitmen nasional untuk memerangi kejahatan.
Remisi bagi terpidana terorisme, narkoba, dan korupsi adalah contoh yang kasatmata.
Polisi dan kejaksaan boleh bersusah payah menangkap dan mengajukan pelaku korupsi ke pengadilan. Tetapi di pengadilan kerja mereka dicampakkan oleh para hakim dengan membebaskan terdakwa.
Itu juga yang kita saksikan dengan kasus-kasus pembalakan liar yang lebih banyak dibebaskan daripada dihukum pelakunya. Padahal semua tahu bahwa salah satu bencana terbesar di masa depan adalah hilangnya hutan di Indonesia.
Semua berteriak bahwa pencurian ikan di laut Indonesia oleh nelayan asing adalah kerugian amat besar. Tidak semata pencaplokan kekayaan nasional, tetapi sekaligus menampar kedaulatan atas wilayah. Tetapi dalam praktik, pencurian tetap dilanjutkan karena terjadi kompromi di lautan antara pencuri dan yang seharusnya menangkap.
Jadi, sudah saatnya aturan dan undang-undang yang dibuat dan dilaksanakan harus mendorong agar bangsa ini memiliki tekad kuat memperbaiki diri.
Hari Kemerdekaan 17 Agustus seharusnya menjadi momentum untuk menggelorakan tekad bangsa memerangi berbagai kejahatan, bukan melonggarkan.
Ingatan pendek inilah yang menyebabkan inkonsistensi dalam sikap terhadap sebuah malapetaka. Sebagai contoh bisa ditunjukkan perilaku pemerintah terhadap terorisme, korupsi, dan narkoba.
Semua orang, termasuk pemerintah, sepakat bahwa terorisme, korupsi, dan narkoba adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa yang harus dilawan dengan konsistensi luar biasa pula.
Tetapi dalam praktik terlihat inkonsistensi itu.
Baru saja publik, bahkan dunia mengutuk terorisme setelah bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton yang menewaskan banyak penduduk sipil tidak berdosa di Jakarta. Tetapi pada tanggal 17 Agustus, bersamaan dengan sukacita bangsa merayakan 64 tahun kemerdekaan, para terpidana terorisme, korupsi, dan narkoba memperoleh remisi.
Mereka dianggap bagian dari terpidana biasa yang menurut undang-undang pantas memperoleh remisi. Adalah Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 yang tidak membedakan tiga jenis kejahatan tersebut dari kasus-kasus pidana umum.
Dengan demikian mereka juga berhak memperoleh remisi antara satu sampai enam bulan setelah menjalani 1/3 masa hukuman. Tidak mengherankan jika atas nama kemerdekaan dan sukacita, kita menyaksikan terpidana terorisme bebas pada 17 Agustus. Demikian juga halnya beberapa terpidana korupsi dan narkoba.
Mengapa kita tidak bisa memerangi korupsi? Mengapa seorang Noordin M Top masih leluasa beroperasi dan menciptakan pengikut yang semakin banyak? Mengapa narkotik semakin merebak dan merusak? Mengapa pembalakan liar tidak pernah surut?
Jawabnya, karena kita tidak pernah bersepakat tentang musuh dan bahaya bersama. Apa itu ancaman nasional, apa itu malapetaka, dan apa itu kejahatan. Semuanya serbarelatif dan bisa dimaafkan sehingga tidak ada efek jera bagi para pelaku dan calon pengikutnya.
Negara tidak cukup mendidik warga untuk membangun kesamaan sikap terhadap ancaman dan bahaya nasional. Negara malah mempertontonkan inkonsistensi yang melemahkan komitmen nasional untuk memerangi kejahatan.
Remisi bagi terpidana terorisme, narkoba, dan korupsi adalah contoh yang kasatmata.
Polisi dan kejaksaan boleh bersusah payah menangkap dan mengajukan pelaku korupsi ke pengadilan. Tetapi di pengadilan kerja mereka dicampakkan oleh para hakim dengan membebaskan terdakwa.
Itu juga yang kita saksikan dengan kasus-kasus pembalakan liar yang lebih banyak dibebaskan daripada dihukum pelakunya. Padahal semua tahu bahwa salah satu bencana terbesar di masa depan adalah hilangnya hutan di Indonesia.
Semua berteriak bahwa pencurian ikan di laut Indonesia oleh nelayan asing adalah kerugian amat besar. Tidak semata pencaplokan kekayaan nasional, tetapi sekaligus menampar kedaulatan atas wilayah. Tetapi dalam praktik, pencurian tetap dilanjutkan karena terjadi kompromi di lautan antara pencuri dan yang seharusnya menangkap.
Jadi, sudah saatnya aturan dan undang-undang yang dibuat dan dilaksanakan harus mendorong agar bangsa ini memiliki tekad kuat memperbaiki diri.
Hari Kemerdekaan 17 Agustus seharusnya menjadi momentum untuk menggelorakan tekad bangsa memerangi berbagai kejahatan, bukan melonggarkan.
Comments :
0 komentar to “Inkonsistensi Perang Melawan Kejahatan”
Posting Komentar