Kutawaringin Kawasan Olahraga Terpadu


Headline

Jl. Raya Soreang-Cipatik KM. 5,8
Email: kutawaringin@gmail.com
Phone/Fax: +62 22 85873789

Kutawaringin

26 Agustus 2009

Perampokan Harta Kultural

TRAGEDI selalu berulang bagi bangsa yang tidak mampu membaca dan memaknai sejarah. Itu yang terjadi dengan Indonesia dalam hampir seluruh lakon eksistensi dengan tetangga serumpun Malaysia.

Memori yang pendek dan ketidakmampuan membaca gelagat kecenderungan peristiwa menyebabkan Indonesia kini semakin banyak kalah dari Malaysia. Kita hanya menang besar dan kaya secara kuantitatif, tetapi kalah secara kualitatif. Dalam hubungan dengan Malaysia kita lebih banyak tercuri daripada memperoleh.

Itulah yang terjadi dengan Sipadan dan Ligitan, dua pulau di perbatasan yang selama ini menjadi milik Indonesia, tetapi dengan begitu gampang direbut Malaysia menjadi miliknya. Pemicunya adalah ketidakpedulian. Indonesia bangga karena memiliki belasan ribu pulau, tetapi tidak mengenal dan mengetahui pulau-pulaunya satu demi satu.

Sekarang kita marah karena kekayaan kultural kita dipakai Malaysia untuk mengampanyekan diri sebagai negara yang benar-benar Asia. Tari Pendet yang menjadi harta seni Bali diklaim sebagai budaya Malaysia yang memperkuat kampanye negeri jiran itu sebagai truly Asia.

Sesungguhnya klaim Malaysia terhadap produk-produk budaya Indonesia bukan baru pada tari Pendet. Sebelumnya Malaysia juga menganggap reog, seni tari dari Ponorogo, Jawa Timur, sebagai miliknya. Ribut-ribut soal reog ini tidak jelas ujungnya sampai sekarang.

Terdengar pula bahwa Malaysia membanggakan diri karena angklung dan batik adalah karya budayanya. Belum lagi terhadap lagu-lagu yang memiliki kesamaan irama dan lirik. Memang, sebagai dua bangsa serumpun, terdapat wilayah abu-abu tentang akar dan kekayaan kultural. Tetapi, sesungguhnya, wilayah abu-abu ini tidak boleh lalu menyebabkan pencurian dan kecurian.

Dunia telah mengatur dengan jelas tentang hak kekayaan intelektual. Semua orang, semua bangsa, semua negara, berhak atas kekayaan intelektual maupun kultural masing-masing. Dan kekayaan ini harus dihargai. Caranya adalah mematenkan kekayaan itu sehingga diketahui dunia sebagai milik dan warisan sebuah bangsa atau negara atau individu. Dengan memegang hak paten, siapa pun yang menggunakannya untuk kepentingan komersial harus memperoleh izin dari pemegang paten.

Di sinilah titik lemah Indonesia. Kita bukan bangsa yang menghargai hak intelektual orang. Indonesia adalah surga bagi pemalsuan. Apa saja bisa ditemukan imitasinya di sini.
Sebagai dua negara dengan basis kultural dan ras yang sama, Indonesia dan Malaysia seharusnya bisa menentukan produk-produk kultural mana saja yang menjadi milik bersama dan mana yang tidak. Hanya pada produk-produk budaya seperti inilah komersialisasi tidak memerlukan izin.

Pemerintah Indonesia teramat lalai dalam mengurusi paten atas seluruh kekayaan intelektual dan kultural. Inilah wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Alangkah kagetnya kita tatkala mengetahui bahwa tempe dan tahu ternyata sudah dipatenkan oleh Jepang. Kita tidak tahu apakah keris Jawa sudah dipatenkan atau belum.

Pencurian-pencurian terhadap harta kekayaan intelektual maupun kultural yang terus saja terjadi, tidak cuma oleh Malaysia, adalah dampak dari sindrom Indonesia yang bangga dengan semua yang besar dan banyak.

Kita bangga pada pulau-pulau yang banyak, tetapi tidak mengenal satu demi satu. Kita kagum pada kekayaan budaya yang luar biasa, tetapi tidak mengenalnya dengan rinci.

Kebanggaan pada kekayaan alam menyebabkan kita lupa pada besar dan jenis kekayaan itu semua. Karena kita bingung dengan seluruh kebesaran dan kekayaan, Malaysia dengan mudah mengambilnya.

Lama-kelamaan Indonesia lupa bahwa Borobudur ada di tanah Jawa.

Comments :

0 komentar to “Perampokan Harta Kultural”

Posting Komentar

Pengikut

Sponsor

 

Copyright © 2009 by Kecamatan Kutawaringin Powered By Blogger Design by ET