Kutawaringin Kawasan Olahraga Terpadu


Headline

Jl. Raya Soreang-Cipatik KM. 5,8
Email: kutawaringin@gmail.com
Phone/Fax: +62 22 85873789

Kutawaringin

28 Agustus 2009

TIDAK JERA DENGAN GRATIFIKASI

PENCEGAHAN dan penindakan tindak pidana korupsi yang dilakukan selama ini ternyata belum sepenuhnya memberikan efek jera. Proses transaksi memberi dan menerima uang yang diduga untuk memuluskan sebuah permufakatan masih saja berlangsung dengan mulus.

Ironisnya, permufakatan itu melibatkan anggota DPR yang sejatinya bertugas mengawasi eksekutif. Lebih ironis lagi, anggota DPR tidak pernah kapok menerima uang suap. Tidak sedikit anggota dewan kini hidup dalam kubangan di balik jeruji bui karena tergelincir uang suap.

Adalah benar bahwa tidak semua anggota DPR berhati nurani tumpul. Setidaknya anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa Mufid Busyairi ogah terperosok pada lubang yang sama. Ia mengaku kapok berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Anggota Komisi IV DPR itu pernah berurusan dengan KPK terkait dengan alih fungsi lahan hutan lindung. Karena itulah, pada 18 Agustus, Mufid Busyairi dengan kesadaran sendiri mendatangi KPK untuk mengembalikan gratifikasi sebesar Rp100 juta.

Pengembalian gratifikasi itu menguak fakta lain bahwa fenomena Mufid hanyalah puncak gunung es suap di Gedung DPR. Sebab, KPK sudah mengantongi sejumlah nama anggota DPR lainnya yang belum mengembalikan gratifikasi. Jika dalam 30 hari gratifikasi tidak dilaporkan kepada KPK, sesuai ketentuan yang berlaku, status gratifikasi meningkat menjadi tindak pidana korupsi.

Sayangnya, Mufid masih bungkam. Ia enggan membeberkan kepada publik asal uang yang diterimanya dan permufakatan apa di balik pemberian itu. Mufid membiarkan masyarakat untuk menebak. Yang pasti, dalam 30 hari terakhir ia masih menjadi anggota tujuh pansus termasuk Panitia Angket BBM. Ia bersama anggota Panitia Angket lainnya memang berencana melakukan kunjungan kerja ke Venezuela.

Tentu, kewajiban KPK untuk segera membongkar konspirasi di balik gratifikasi tersebut. Pemberi dan penerima uang harus sama-sama dianggap sebagai penjahat yang sama layaknya pula untuk dijebloskan ke dalam hotel prodeo.

Sebuah fakta yang telanjang mengganggu rasa keadilan masyarakat, tanpa mengurangi apresiasi kita, selama ini KPK hanya berani menjerat penerima suap. Pemberi suap tetap dibiarkan anonim. Konstruksi pemberantasan korupsi seperti itulah, langsung atau tidak langsung, turut memberi andil melestarikan budaya suap.

Patut diduga, pemberi uang pasti melibatkan orang besar atau setidaknya terkait dengan orang-orang yang berada dalam lingkar kekuasaan. Itulah yang membuat KPK sungkan menjangkaunya.

Selain itu, ini faktor lain yang menyuburkan budaya suap di parlemen, KPK terlalu mudah memberi maaf kepada anggota DPR yang mengembalikan uang kendati pengembalian itu telah melewati tenggat 30 hari yang ditentukan undang-undang.

Dalam kasus alih fungsi hutan atau aliran dana Bank Indonesia, misalnya, tindak pidana seakan-akan lenyap bersamaan anggota DPR atau mantan anggota DPR mengembalikan uang kepada KPK. KPK terbuai dengan alibi anggota dewan yang mengaku tidak tahu siapa pemberi uang dan untuk apa uang itu diberikan. Alibi dibuat-buat dan KPK menerima begitu saja sehingga muncul tudingan pemberantasan korupsi tebang pilih.

KPK harus menjadikan kasus gratifikasi Mufid Busyairi untuk memberikan efek jera kepada pemberi dan penerima suap. Pemberi dan penerima uang harus diumumkan. Motivasi permufakatan di balik pemberian uang itu mesti dibongkar dan dibeberkan kepada publik. Hanya itulah cara untuk memberikan efek jera yang efektif bagi pemberi dan penerima gratifikasi.

Comments :

0 komentar to “TIDAK JERA DENGAN GRATIFIKASI”

Posting Komentar

Pengikut

Sponsor

 

Copyright © 2009 by Kecamatan Kutawaringin Powered By Blogger Design by ET