Kutawaringin Kawasan Olahraga Terpadu


Headline

Jl. Raya Soreang-Cipatik KM. 5,8
Email: kutawaringin@gmail.com
Phone/Fax: +62 22 85873789

Kutawaringin

06 September 2009

Gempa yang Mengingatkan

Apa yang sedang Anda lakukan saat gempa terjadi Rabu (2/9) sore itu? Pukul 14.55 WIB, jam kantor belum lagi usai. Kita masih sibuk dalam aktivitas masing-masing, dalam urusan, dan dalam pikiran sendiri-sendiri. Satu hal yang kemungkinan besar tidak sedang kita pikirkan adalah: sore itu akan terjadi gempa.

Oleh karena itu, kita pun terkejut bukan kepalang. Serentak yang di dalam ruangan berebut menuju ruang terbuka. Sebagian berzikir, sebagian bertakbir. Tetapi, sebagian lain hanya bisa berteriak histeris. Apakah yang sedang terjadi dengan bumi?

Saya tidak tahu apakah secara fisik gempa punya korelasi langsung dengan tingkah manusia. Apakah bencana gempa satu domain dengan banjir, longsor, semburan lumpur, dan lain-lain yang terjadi akibat ulah manusia yang serakah. Yang pasti, semua yang ada di semesta ini adalah jaringan teks yang saling berkelindan dan bertumpu pada satu titik pusat energi: Tuhan Sang Maha Penggerak. "Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya, "Apa yang terjadi pada bumi ini?". Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) padanya" (Al-Zalzalah, 1-5).

Pertanyaannya, apakah beban berat yang dikandung bumi? Dalam logika sederhana, bukankah secara fisik kian hari bumi kian dihabisi, kian dikuruskan, dan dengan demikian kian dikurangi bebannya oleh manusia?

Jelas kita tak bisa membacanya dalam logika tersebut. Justru pembacaan harus dilakukan dari arah sebaliknya. Saat bumi kian dirusak; saat itu tambahan bebannya jadi berlipat. Soalnya, bumi pun harus memangku para pelaku perusakan itu: manusia. Dalam hubungan dengan alam, sebagian besar dari manusia, sungguh, kian hari kian mengalami obesitas dosa. Tumpukan dosa itu pastilah jadi tambahan beban dan bumi harus menopangnya.

Jika Al-Zalzalah dibaca hingga tuntas tampak bahwa dengan surat itu Tuhan sedang mengisyaratkan terjadinya Hari Akhir. Ayat ke-6, misalnya, berisi kabar bagaimana saat peristiwa terjadi manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok. Tentu Tuhan tidak perlu detil menggambarkan bagaimana kepanikan manusia saat itu. Dengan mengabarkan bahwa mereka datang berkelompok saja, kiranya telah jelas, betapa saat itu manusia berada dalam ketakutan luar biasa.

Ketakutan demikian, dalam ukuran peristiwa yang mungkin hanya sepersekiannya dari Hari Akhir, kita rasakan dan saksikan juga kemarin. Kita memang tidak berhamburan, keluar berkelompok dari liang kubur. Kemarin kita berhamburan dari rumah, terbirit-birit menjauh dari gedung. Akan tetapi, sekonyong-konyong saya berpikir, jangan-jangan rumah dan gedung-gedung itu telah menjadi kuburan bagi kita.

Atau sebaliknya, kata kuburan dalam Al-Zalzalah adalah metafora: kuburan adalah tempat yang mengikat, ruang sempit yang mengimpit, tempat di mana kita hanya bisa berpikir untuk diri sendiri. Kesempitan itu tidak pernah membuka ruang untuk membangun hubungan yang intens dengan Tuhan (hablum minalllah), berelasi menyapa sesama dengan cinta (hablum minan nas), dan apalagi menjalin hubungan baik dengan alam. Kita baru keluar dari ketaksadaran di ruang sempit itu manakala terjadi guncangan. Saat telah berada di luar, dalam kepanikan luar biasa itu tampaklah semua amal kita (yang baik juga yang buruk) sebagaimana juga diisyaratkan Al-Zalzalah di ujung ayat ke-6: "…untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) atas semua perbuatannya."

Jadi, ada baiknya gempa kemarin kita baca sebagai suatu guncangan peringatan bahwa Tuhan sedang meminta kita untuk sejenak keluar dari "rumah" (juga "tubuh") yang telah menjadi kuburan sedemikian. Tuhan sedang meminta kita mengevaluasi diri, melihat sekilas apa yang pernah kita lakukan. Ini berarti bahwa gempa kemarin bukan sekadar peristiwa fisik yang dipicu oleh kapal-kapal tektonik yang saling bertabrakan (Brahmantyo, "PR"/3/9), melainkan bisa jadi "ditabrakkan". Kita memang memercayai ketepatan sains dan teknologi, tetapi kita juga yakin, seluruhnya berpusat pada Sumber dari Segala Sumber Energi, suatu Tenaga yang tak Terukur.

Hal lain yang penting diingat dari gempa kemarin adalah di luar rumah, dalam keramaian sekaligus kepanikan, kita ternyata sendirian. Semua jaringan komunikasi tiba-tiba mati. Tetapi, diam-diam, dalam relung paling jauh, sinyal lain muncul. Kita lantas membangun komunikasi sejati dengan Muasal yang tak Terjamah itu. Sekonyong-konyong tumbuh kesadaran bahwa ternyata Tuhan berada di halaman, sedang selama ini kita rapat mengunci pintu!***

Penulis, Pembina Komunitas Muslim Kubah Merah Pangandaran, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB.

Comments :

0 komentar to “Gempa yang Mengingatkan”

Posting Komentar

Pengikut

Sponsor

 

Copyright © 2009 by Kecamatan Kutawaringin Powered By Blogger Design by ET