ADA kecenderungan yang mengkhawatirkan, yaitu presiden gampang mengklaim negara dalam keadaan 'kegentingan yang memaksa'. Hal itu tampak pada banyaknya presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Konstitusi memang memberikan presiden otoritas subjektif untuk menilai kondisi darurat. Akan tetapi, otoritas itu hanya bersifat sementara sebab DPR sebagai lembaga yang mewakili rakyat juga memegang tafsir atas ihwal kegentingan yang memaksa itu.
Hal itu jelas sekali tampak pada Pasal 22 UUD. Pasal 22 ayat (1) menyebutkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan perppu. Akan tetapi, perppu itu tetap harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya (Pasal 22 ayat 2). Jika tidak mendapatkan persetujuan DPR, perppu itu harus dicabut (ayat 3).
Tujuan mendapatkan persetujuan DPR sangat jelas, yaitu agar presiden tidak terjerumus dalam sikap otoriter, sikap semena-mena menafsirkan kondisi negara dalam keadaan darurat.
Penjelasan Pasal 22 UUD semakin menegaskan dalam kondisi yang bagaimana perppu boleh diterbitkan. Yaitu kondisi yang mengancam keselamatan negara sehingga memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan cepat.
Jadi, semakin banyak perppu diterbitkan, semakin menandakan keselamatan negara sedang terancam. Ironisnya, perppu selalu diterbitkan di tengah kondisi keamanan negara terkendali. Buktinya, dalam empat tahun ini, negara ini mampu menyelenggarakan pilkada, pemilu, dan pilpres. Akan tetapi, justru dalam lima tahun terakhir ini pemerintah sudah menerbitkan 16 perppu. Itu artinya sudah 16 kali pemerintah mengakui keselamatan negara sedang terancam.
Karena negara dalam keadaan aman tenteram, keberadaan perppu itu patut dicurigai. Kecurigaan itulah yang menyertai lahirnya Perppu Nomor 4 Tahun 2009 yang memberi kewenangan kepada presiden untuk menunjuk langsung pelaksana tugas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kecurigaan semakin bertambah karena ada niat pemerintah dan DPR untuk melucuti kewenangan KPK sebagaimana tampak dalam pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. UU Pengadilan Tipikor terancam gagal. Karena itu, muncul desakan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu Pengadilan Tipikor. Ternyata Presiden lebih tertarik menerbitkan perppu yang lain, yang melegalkan Presiden menunjuk pimpinan KPK.
Sebaiknya, presiden jangan gampang menilai keadaan genting memaksa karena itu menunjukkan kekuasaan otoriter.
Konstitusi memang memberikan presiden otoritas subjektif untuk menilai kondisi darurat. Akan tetapi, otoritas itu hanya bersifat sementara sebab DPR sebagai lembaga yang mewakili rakyat juga memegang tafsir atas ihwal kegentingan yang memaksa itu.
Hal itu jelas sekali tampak pada Pasal 22 UUD. Pasal 22 ayat (1) menyebutkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan perppu. Akan tetapi, perppu itu tetap harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya (Pasal 22 ayat 2). Jika tidak mendapatkan persetujuan DPR, perppu itu harus dicabut (ayat 3).
Tujuan mendapatkan persetujuan DPR sangat jelas, yaitu agar presiden tidak terjerumus dalam sikap otoriter, sikap semena-mena menafsirkan kondisi negara dalam keadaan darurat.
Penjelasan Pasal 22 UUD semakin menegaskan dalam kondisi yang bagaimana perppu boleh diterbitkan. Yaitu kondisi yang mengancam keselamatan negara sehingga memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan cepat.
Jadi, semakin banyak perppu diterbitkan, semakin menandakan keselamatan negara sedang terancam. Ironisnya, perppu selalu diterbitkan di tengah kondisi keamanan negara terkendali. Buktinya, dalam empat tahun ini, negara ini mampu menyelenggarakan pilkada, pemilu, dan pilpres. Akan tetapi, justru dalam lima tahun terakhir ini pemerintah sudah menerbitkan 16 perppu. Itu artinya sudah 16 kali pemerintah mengakui keselamatan negara sedang terancam.
Karena negara dalam keadaan aman tenteram, keberadaan perppu itu patut dicurigai. Kecurigaan itulah yang menyertai lahirnya Perppu Nomor 4 Tahun 2009 yang memberi kewenangan kepada presiden untuk menunjuk langsung pelaksana tugas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kecurigaan semakin bertambah karena ada niat pemerintah dan DPR untuk melucuti kewenangan KPK sebagaimana tampak dalam pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. UU Pengadilan Tipikor terancam gagal. Karena itu, muncul desakan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu Pengadilan Tipikor. Ternyata Presiden lebih tertarik menerbitkan perppu yang lain, yang melegalkan Presiden menunjuk pimpinan KPK.
Sebaiknya, presiden jangan gampang menilai keadaan genting memaksa karena itu menunjukkan kekuasaan otoriter.
Comments :
0 komentar to “Monopoli Tafsir Ihwal Kegentingan”
Posting Komentar