RENTANG suhu yang lebar antara dinginnya udara malam dan sengatan matahari di siang hari, tak melenyapkan niat sebagian korban gempa di Kab. Bandung untuk tetap melaksanakan ibadah puasa. Padahal, banyak dari mereka yang kini tunawisma, karena tempat tinggal mereka rusak atau hancur diguncang gempa bumi berskala 7,3 SR, Rabu (2/9) lalu.
"Biasanya kami sahur di rumah bareng keluarga, tetapi sekarang sahur di tenda pengungsian. Senang juga karena ramai, tetapi sekaligus menyedihkan,"` ucap Dewi (14), yang rumahnya ambruk karena gempa, di RT 4 RW 4, Desa/ Kec. Pangalengan, Kab. Bandung.
Tak ingin menyerah pada keadaan, Dewi tetap memutuskan untuk melakukan ibadah puasa. "Ya dikuat-kuatin saja, walaupun dari tadi banyak anak dan orang-orang yang enggak puasa dan makan di depan saya, tetapi biarin saja mungkin mereka enggak sanggup puasa," ucapnya.
Dewi mengatakan, ia dan beberapa warga yang mengungsi di posko RW 4 Desa Pangalengan, sahur sekitar pukul 23.00 WIB. "Terpaksa makan cuma jam sebelas, soalnya enggak ada makanan lagi. Makanan cuma diantarkan jam segitu. Sekarang juga belum ada makanan lagi yang diantarkan," kata Dewi, sambil melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya, sekitar pukul 01.55 WIB.
Camat Pangalengan Haris Taufik membenarkan, bantuan mendesak yang dibutuhkan warga adalah sembako, makanan, dan makanan bayi. Namun, bantuan jenis itu belum banyak. "Hingga saat ini, yang sudah lumayan banyak adalah bantuan tenda, selimut, dan tempat tidur," ujarnya.
Dapur umum darurat, juga disebut Haris masih minim. "Tetapi banyak yang kemudian membuat dapur mandiri di lapangan, dan tempat terbuka lainnya," ucapnya.
Sahur sambil ditemani dinginnya malam di daerah dataran tinggi Pangalengan, juga dirasakan oleh warga Desa Pangalengan lainnya, Wien (25). Warga yang rumahnya rusak berat akibat gempa itu memilih tinggal di tenda pengungsian sejak Rabu (2/9) malam. "Mau ambil beras di rumah juga takut, bisi ada gempa susulan," ucapnya.
Sahur bersama dengan para tetangga, menurut Wien telah memberikan suasana baru. "Sahur di sini rasanya campur aduk, ramai-ramai sedih. Tadi cuma makan pakai nasi putih dan lalapan. Ada juga yang makan mi instan. Di sini belum ada bantuan makanan, cuma obat-obatan," katanya.
Begitu pula dengan Mak Omah (66), yang tetap berpuasa. "Tadi makan nasi saja. Ada susahnya ada senangnya, bisa ngumpul sama tetangga. Tetapi nangis juga kalau ingat musibah, semoga puasa saya tetap diterima Allah SWT," ucapnya.
Comments :
0 komentar to “Sahur di Pengungsian, Senang Tetapi Menyedihkan”
Posting Komentar