CERITA mengenai tradisi lilikuran (malam ke-21 Ramadan) langsung mengalir lancar dari mulut Ki Ilin Dasyah (74), sesepuh rumah adat Cikondang, ketika ditemui di kediamannya di Kp. Cikondang, Desa Lamajang, Kec. Pangalengan, Kab. Bandung, Kamis (10/9). Nilai tradisional yang semakin bersinggungan dengan arus modernisasi, membuat banyak warga meninggalkan tradisi lilikuran.
"Semakin ke sini makin sedikit yang memperingati lilikuran dengan cara tradisional Cikondang. Kalau dulu, lilikuran diperingati dengan cara berkumpul dan berdoa bersama. Sekarang warga memperingatinya di rumah masing-masing. Itu pun bagi yang memperingatinya," ujar Ki Ilin.
Tradisi saling mengantarkan makanan mulai hilang memasuki abad ke-21. "Sejak tahun 2000-an mulai tidak ada. Warga hanya masak masing-masing, lalu makan dan berdoa di rumah masing-masing," katanya.
Berdasarkan catatan sejarah turun-temurun, nama Cikondang bermula dari seke (mata air) yang keluar dari pohon kondang. Oleh karena itu, daerah tersebut dikenal dengan nama Cikondang atau Kampung Cikondang. Nama kampung tersebut merupakan perpaduan antara sumber air dan pohon kondang, ci yang berarti cai (air) atau sumber air, serta kondang nama dari pohon besar tempat air keluar.
Kampung Adat Cikondang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17 antara tahun 1703 atau tahun 1126 Hijriah. Keberadaan kampung ini sekarang dilindungi Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Situs dan Benda Cagar Budaya.
Hingga tahun 1942, jumlah rumah adat beratap ijuk di kampung itu masih 60 buah. Namun, kebakaran besar di tahun itu, telah menghanguskan 59 rumah adat lainnya. Hanya satu yang tersisa dan bertahan hingga kini.
Dimulai pada malam ke-21 Ramadan, tradisi lilikuran berlangsung pada setiap malam ganjil selanjutnya. "Pada malam-malam likur, doa diperuntukkan kepada Kanjeng Nabi Besar Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Malam ke-21 untuk Abu Bakar al Shiddiq, malam ke-23 untuk Umar bin Khatab, malam ke-25 untuk Usman bin Affan, malam ke-27 untuk Ali Ibnu Abi Thalib, dan ke-29 untuk Nabi Besar Muhammad," Ujar Ki Ilin menjelaskan.
Kegiatan memasak, mengantarkan makanan, dan mengantarkan doa kepada arwah leluhur dan doa meminta keselamatan di Kampung Adat Cikondang juga kerap disebut tradisi "Ngarahmatkeun". Puncak tradisi ini dilakukan pada malam takbiran dan saat hari raya Idulfitri. Tak ada menu spesial yang harus dimasak. Seluruhnya disesuaikan dengan kemampuan dari masing-masing keluarga. Nasi dan lauk pauk yang sudah dimasak, biasanya ditempatkan dalam bakul.
"Tradisi ini memang sudah ada turun-temurun. Walaupun kini banyak yang berubah seiring keadaan zaman, minimal keturunan karamat Kampung Cikondang masih tetap melaksanakan tradisi," kata Ki Ilin. (Endah Asih/"PR")***
Comments :
0 komentar to “Tradisi "Lilikuran" yang Mulai Memudar...”
Posting Komentar