Ece Surahmat (47) hanya bisa memandangi ruang-ruang kelas yang porak-poranda. Gempa berkekuatan 7,3 pada skala Richter yang mengguncang Pangalengan, Kab. Bandung, awal September lalu, menyisakan pedih di hatinya.
Ia harus menyaksikan atap dan dinding ruang guru SDN Sukabungah, sekolah tempatnya mengabdi selama 25 tahun, ambruk. Ruang kelas pun mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda.
Oleh karena itu, seluruh murid kini terpaksa belajar di tenda. "Belajar di tenda memang tidak nyaman. Tapi kami berupaya untuk tetap memberikan semangat kepada seluruh murid," kata Ece, guru kelas V di SDN Sukabungah.
Udara di dalam tenda sangat panas jika matahari bersinar terik. Hal itu membuat anak-anak sulit konsentrasi belajar. Mereka juga harus duduk beralaskan tikar dan terpal seadanya. Untuk menyiasatinya, para guru mengajak muridnya belajar di bawah pepohonan yang ada di sekitarnya.
Kepala SDN Sukabungah Rohayati Syam mengatakan, agar kegiatan belajar-mengajar tetap berjalan, sekolah mengandalkan tiga tenda peleton. Setiap tenda diisi murid dari dua kelas yang berbeda. Selain panas, para murid juga mengaku silau oleh pantulan sinar matahari dari salah satu tenda yang berwarna orange.
"Melihat kondisi saat ini, kami berharap, pemerintah bisa segera memberikan bantuan untuk memperbaiki ruang-ruang kelas yang ada, agar para murid bisa kembali belajar dengan nyaman," katanya. Rohayati mengatakan, hingga kini belum ada kepastian dari pemerintah kapan bantuan perbaikan sekolah tersebut akan diturunkan. Namun, saat bertemu dengan Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi Jabar, diperoleh informasi bahwa alokasi dana bantuan untuk perbaikan sekolah baru akan direalisasikan pada tahun anggaran 2010.
Keresahan yang sama pun dirasakan Kepala Sekolah SDN Gamlok Elis Aning. Berbeda dengan murid-murid SDN Sukabungah yang harus belajar di tenda, para murid SDN Gamlok belajar di kelas yang terbuat dari bilik bambu atau dikenal dengan sekolah bambu.
Meski lebih nyaman dibandingkan dengan belajar di tenda, namun luas ruangan kelas dari bambu tersebut tidak cukup besar untuk menampung seluruh murid. Satu kelas di sekolah bambu hanya berukuran 5 x 5 meter, sementara kelas biasa memiliki luas 8 x 7 meter.
"Karena sempit, dalam satu kelas hanya bisa masuk sekitar dua belas meja saja. Padahal muridnya bisa mencapai tiga puluh orang lebih. Alhasil, satu meja harus diisi sekitar tiga murid. Selain itu, karena hanya disekat oleh bilik, kondisi kelas jadi bising," kata Elis.
Ia pun berharap agar bantuan untuk memperbaiki sekolah yang dibangun tahun 1982 tersebut, bisa segera cair. Memang sudah ada petugas pemerintah yang melakukan monitoring. Namun, Elis mengaku belum mendapat kepastian kapan bantuan perbaikan tersebut akan diberikan. (Fitri Rumantris/"PR")***
Comments :
0 komentar to “"Belajar di Tenda Memang tidak Nyaman..."”
Posting Komentar