
SALAH satu kecaman kepada sejarah adalah keberpihakan yang terlalu dominan kepada yang menang, kuat dan perkasa. Itulah sebabnya sejarah, dimana-mana, tidak menjadi milik mereka yang kalah.
Tetapi saat ini, ada seorang anak bangsa yang pantas memperoleh tempat dalam sejarah, walaupun dia sedang dirundung kekalahan. Dia adalah Mohamad Jusuf Kalla. Dia kalah dalam pemilihan presiden. Partai Golkar yang dia pimpin juga kalah dalam pemilihan umum legislatif.
Kekalahan tidak lantas membuat Kalla kehilangan keseimbangan. Dia tetap menjalankan fungsi sebagai wakil presiden dengan senang, cekatan, dan enteng-enteng saja. Dan peristiwa terakhir yang membuat kita mengacungkan jempol kepada Jusuf Kalla adalah kehadirannya kemarin di saat dia harus menyerahkan kursi wakil presiden kepada Prof Dr Boediono yang mengalahkan dia dalam pemilu presiden.
Beberapa hal patut dikenang dalam sejarah dari seorang Jusuf Kalla. Untuk pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, seorang wakil presiden memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap presidennya. Itu adalah bagian dari kesepakatan ketika dia berpasangan dengan SBY pada Pemilu 2004 yang mereka menangkan.
Jusuf Kalla, dengan latar belakang sebagai saudagar-istilah yang kemudian dipakai lawan politik untuk menghajarnya-memperlihatkan sebuah terobosan dalam melihat dan memperlakukan tahta.
Jabatan wakil presiden tidak harus menjadi sangat feodalistik dan angker. Tahta wakil presiden yang selama ini kental dengan kultur pejabat dan petinggi, diubah menjadi tahta tempat bekerja. Karena itu Kalla lebih banyak terlihat berkemeja lengan pendek tanpa jas bila sedang bekerja. Dia melawan formalitas priyayi yang menaungi tahta.
Kalla juga tidak ingin bila wakil presiden dianggap sebagai ban serep. Karena itu banyak sekali kebijakan lahir dan dieksekusi dari kantornya.
Kini Kalla menjadi warga negara biasa yang tidak lagi dipagari oleh keharusan protokoler. Dia tidak terdera oleh post power syndrome. Semuanya dilakoni dengan wajar, mengalir dan tersenyum.
Selain pantas dicatat sejarah sebagai orang kalah yang berjasa dalam melawan formalisme tahta, Kalla pantas juga dikenang sebagai tokoh yang membuat terobosan besar. Mengubah konsumsi minyak tanah ke gas adalah langkah Kalla yang amat fundamental. Langkah yang luar biasa berani itu mampu menghemat anggaran negara puluhan triliun rupiah setiap tahun.
Kalla juga banyak dikecam karena memaksakan pembangunan pembangkit listrik raksasa di banyak tempat di dalam negeri. Listrik, menurut Kalla adalah syarat mutlak bagi negara yang ingin maju. Bagaimana mungkin bercita-cita sejahtera kalau masyarakat tidak mengenal dan dilayani listrik yang cukup? Ini kebuntuan yang hendak didobraknya.
Dan, terlepas dari pro dan kontra tentang siapa yang sesungguhnya patut memperoleh kredit dalam perdamaian Aceh, Kalla pantas tercantum dalam sejarah. Dia berperan besar.
Inilah sekelumit kisah sejarah yang patut dicatat bagi seorang yang kalah. Dialah Jusuf Kalla.
Tetapi saat ini, ada seorang anak bangsa yang pantas memperoleh tempat dalam sejarah, walaupun dia sedang dirundung kekalahan. Dia adalah Mohamad Jusuf Kalla. Dia kalah dalam pemilihan presiden. Partai Golkar yang dia pimpin juga kalah dalam pemilihan umum legislatif.
Kekalahan tidak lantas membuat Kalla kehilangan keseimbangan. Dia tetap menjalankan fungsi sebagai wakil presiden dengan senang, cekatan, dan enteng-enteng saja. Dan peristiwa terakhir yang membuat kita mengacungkan jempol kepada Jusuf Kalla adalah kehadirannya kemarin di saat dia harus menyerahkan kursi wakil presiden kepada Prof Dr Boediono yang mengalahkan dia dalam pemilu presiden.
Beberapa hal patut dikenang dalam sejarah dari seorang Jusuf Kalla. Untuk pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, seorang wakil presiden memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap presidennya. Itu adalah bagian dari kesepakatan ketika dia berpasangan dengan SBY pada Pemilu 2004 yang mereka menangkan.
Jusuf Kalla, dengan latar belakang sebagai saudagar-istilah yang kemudian dipakai lawan politik untuk menghajarnya-memperlihatkan sebuah terobosan dalam melihat dan memperlakukan tahta.
Jabatan wakil presiden tidak harus menjadi sangat feodalistik dan angker. Tahta wakil presiden yang selama ini kental dengan kultur pejabat dan petinggi, diubah menjadi tahta tempat bekerja. Karena itu Kalla lebih banyak terlihat berkemeja lengan pendek tanpa jas bila sedang bekerja. Dia melawan formalitas priyayi yang menaungi tahta.
Kalla juga tidak ingin bila wakil presiden dianggap sebagai ban serep. Karena itu banyak sekali kebijakan lahir dan dieksekusi dari kantornya.
Kini Kalla menjadi warga negara biasa yang tidak lagi dipagari oleh keharusan protokoler. Dia tidak terdera oleh post power syndrome. Semuanya dilakoni dengan wajar, mengalir dan tersenyum.
Selain pantas dicatat sejarah sebagai orang kalah yang berjasa dalam melawan formalisme tahta, Kalla pantas juga dikenang sebagai tokoh yang membuat terobosan besar. Mengubah konsumsi minyak tanah ke gas adalah langkah Kalla yang amat fundamental. Langkah yang luar biasa berani itu mampu menghemat anggaran negara puluhan triliun rupiah setiap tahun.
Kalla juga banyak dikecam karena memaksakan pembangunan pembangkit listrik raksasa di banyak tempat di dalam negeri. Listrik, menurut Kalla adalah syarat mutlak bagi negara yang ingin maju. Bagaimana mungkin bercita-cita sejahtera kalau masyarakat tidak mengenal dan dilayani listrik yang cukup? Ini kebuntuan yang hendak didobraknya.
Dan, terlepas dari pro dan kontra tentang siapa yang sesungguhnya patut memperoleh kredit dalam perdamaian Aceh, Kalla pantas tercantum dalam sejarah. Dia berperan besar.
Inilah sekelumit kisah sejarah yang patut dicatat bagi seorang yang kalah. Dialah Jusuf Kalla.
Sent from my BlackBerry® powered by
Comments :
0 komentar to “Sejarah untuk Kalla”
Posting Komentar