Itu Dulu! Sekarang…..?
Nah, jangan sampai kita gak mau belajar dari pengalaman yang dulu-dulu. Biarkan masa lalu yang itu aib menjadi pelajaran bagi kita, dan hanya kita dan Allah-lah yang tahu. Mari gunakan umur kita yang selalu bertambah, bertambah pula amal-amalnya. Secara umum, SMA 1 juga pernah mengalami masa kejayaan dan juga masa kelam. Semua itu tersimpan dalam memori masing-masing guru, karyawan maupun alumni. Sebagai orang yang optimis, seperti dalam majalah Tarbawi, “Apapun Masa Lalu Kita, Tatap Tegak Masa Depan.”
Sekarang, dakwah Islam di SMA 1 mengalami perkembangan pesat. Bila kita bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tentu kondisi sekarang ini patut kita syukuri. Dukungan dari sekolah yang sangat besar, partisipasi karyawan yang semakin meningkat, siswa yang dimanis dan energik dan tentu back up maksimal dari alumni yang tergabung dalam KSAI Al Uswah menjadikan semakin semaraknya kegiatan ini. Sudah keempat kalinya secara resmi mentoring ini menjadi program sekolah, bahkan masuk penilaian mata pelajaran agama Islam. Selama itu pula, kita sadar masih banyak yang harus dibenahi. Masukan berharga dari guru, siswa (dan alumni sendiri) sangat kita harapkan untuk membangun SMA 1 yang sejuk dan Islami.
Seorang alumni angkatan ’98 pernah mengirim SMS; “Semoga kita dapat menyaksikan pembukaan mentoring ke-20 di tahun 2020 dengan lebih spektakuler…..” Sebuah harapan tinggi, namun realistis untuk dicapai. Tentunya hal itu menyemangati kita juga. Melihat betapa susahnya membangun mentoring ini. Mas Andri, Mas Adib, Mbak Ning dkk adalah generasi KSAI yang mampu meninggalkan hal yang mulia bagi kita semua. Dan konsep mentoring akan lebih melibatkan parisipasi aktif dari siswa kelas XI dan XII.
Kita sadar bahwa semangat ngaji harus ada. Di Universitas seluruh Indonesia (termasuk UGM, UI, ITB, Undip, UNS) juga ada lho program wajib mentoring, namanya aja yang beda yaitu AAI (Asistensi Agama Islam), koordinasinya pun sudah tingkat nasional. Dan beruntunglah yang sejak SMA sudah mengenal, tentu lebih mudah menyerap materi-materinya.
Perjalanan dakwah Islam, juga di SMA 1, penuh tantangan dan jalannya tidak mulus. Da’i-dainya harus menempuh jalan yang thulu’ut thariq (panjang jalannya), katsiratul ‘aqabat (banyak timpaannya) dan qillaturrijjal (sedikit pedukungnya). Nah, kita pun mengalami hal yang demikian.
Perubahan besar, kita mulai sejak angkatan 2002 ketika Rohis dipimpin oleh Akh Aldi (sekarang KU UGM). Banyak program-program Rohis yang segar dan menyejukkan. Kasio berjalan efektif, 1 komando dibawah koordinasi dan kontrol dari Rohis, semaraknya kajian kelas yang diisi oleh guru-guru dan kakak kelas, muncul Rohmad (Rohis Masuk Desa), buletin kelas bersaing mewacanakan Islam, banyak upgrading/daurah marhalah yang diselenggarakan untuk peningkatan kualitas da’i dan aktivis di sekolah. Sehingga semua sinergis mulai dari MPK, OSIS, Sie otonom maupun Rohis sendiri.
Di angkatan Rohis setelahnya, dalam agenda GIAT diadakan program sehari bersama Jilbab, serentak bersama sekolah di seluruh Jogja yang dimotori Jangkar Islam. Semua muslimah wajib mengenakan jilbab. Bahkan di SMA 1, ada SK dari Kepala Sekolah Bp. Bashori yang mewajibkan itu. Tapi cuma 1 hari lho! Tujuannya agar teman-teman yang belum berjilbab merasakan betapa enaknya berjilbab, sekaligus menggemakan syiar Islam. Alhamdulillah responnya bagus. Agak kikuk juga sih memakai pertama kalinya untuk bersekolah, terlihat dari akhwat yang seringnya megangin dan mbenerin tuh jilbab. Ada teman 2003 lainnya yang bilang “ternyata jilbab gak panas-panas banget ya!” ada juga yang ngomong “aduh aku jadi lebih cantik nih pake jilbab.” Untung ana cuma denger dari BaseCamp (lt.2 dulu kan di sampingnya ada cermin). Teman-teman yang notabene gaul abis di SMA, sekarang banyak yang berjilbab. Subhanallah. Sebagian berproses ketika SMA, sebagian lagi ketika masuk kuliah. Yah, itulah yang kita tanamkan, bukan paksaan lho, tapi kesadaran itu yang lebih penting. Dan ternyata sekarang ini baru dapat kita rasakan hasilnya. Jadi, sabar aja yah! Jangan terburu-buru. Be creative, not reactive!
Dulu belum ada mentoring lho! Di rohis angkatan ini pula bersama alumni mentoring mulai digulirkan untuk adik kelas. Temen-temen yang paling pantas menilai, apakah sejauh ini program-program yang digulirkan Rohis, OSIS, MPK, Sie Otonom dan yang lain (termasuk mentoring KSAI Al Uswah), efektif. Parameternya mudah kok!
Pertama, berbagai kegiatan justru membuat prestasi akademik kita melesat.
Kalo njeblok ada yang salah dengan pola belajar antum atau manajemen waktunya. Jangan sampai aktivis menjadikan organisasi sebagai kambing hitam. UI Jakarta patut dicontoh, walaupun seabrek punya kegiatan kampus maupun sering aksi di jalanan, aktivisnya mampu berprestasi. Bahkan di papan-papan pengumuman kampus dengan bangga dipasang, “aktivis yang berprestasi semester ini.” Misal si-Ali FKU IPnya 4, si-Bana FHI IP 3,9, si-Rizki FE IP 3,5 dst. Sehingga mahasiswa yang lain pun segan dan hormat dengan pengurus BEM dan Rohis kampus. Diajak beraktivitas ngaji maupun naik gunung, gak masalah. Mereka merasa nyaman dengan komunitas itu. Alumni Teladan pun banyak yang punya pengalaman dan prestasi membanggakan. Digali aja!
Kedua, semakin hormat dan sopan pada orang tua (termasuk bapak-ibu guru).
Nah kalo ada yang “ngaji” trus dirumah ada “gempa bumi lokal”, nah perlu ditelaah lagi materinya (jangan asal comot –dari manapun itu–) atau penerapan antum yang salah. Sering-seringlah menceritakan keadaan sekolah dan proses belajar ke ortu. Toh kalaupun ada masalah, pasti akan di-suport terus oleh ortu. Anak muda memang sangat idealis, orang tua tidak begitu, tapi lebih bijak. Selalu menjaga hubungan baik dengan orang tua adalah pesan Nabi juga kan! Sampai ada orang yang minta izin berjihad oleh Nabi, dilarang dan diminta kembali mengurus dan meperhatikan orang tuanya lebih dulu.
Ketiga, memberi kontribusi positif buat lingkungannya
Sangat disayangkan. Di sekolah, tidak ada yang tidak mengenalnya, sang ketua OSIS, Rohis, maupun pengurus (organisasi) yang lain. Ia begitu aktif di sekolah, tapi di kampung, mencari rumahnya saja sulit, hampir tidak ada tetangga yang mengenalnya. Padahal yang ditanyakan cuma selisih satu rumah dengan tempat tinggalnya. Nah lho …? Ketika melewati orang yang duduk tidak salam, bahkan senyum pun tidak. Wah mau jadi apa nanti? Padahal kita sekolah kan juga biar nantinya bisa mengabdi ke masyarakat. Tul kan? Aktiflah di Masjid kampung, ikuti acara yang diadakan masyarakat. Itulah sarana atau ladang kita beramal dan mengaplikasikan ilmu kita.
Nah, beberapa paramater di atas tentu sedikit dari sekian hal yang bisa mengukur sejauh mana perkembangan kita. Semoga harapan kita bahwa mentoring memberikan pengalaman yang tidak terlupakan bisa terwujud. Tentu pengalaman yang lebih mendekatkan kita pada Allah, bukan yang sebaliknya. Begitu juga dengan Rohis Al Uswah dab Rohis Kelas, Ayo terus berbenah! Let’s have movement!
Nah, jangan sampai kita gak mau belajar dari pengalaman yang dulu-dulu. Biarkan masa lalu yang itu aib menjadi pelajaran bagi kita, dan hanya kita dan Allah-lah yang tahu. Mari gunakan umur kita yang selalu bertambah, bertambah pula amal-amalnya. Secara umum, SMA 1 juga pernah mengalami masa kejayaan dan juga masa kelam. Semua itu tersimpan dalam memori masing-masing guru, karyawan maupun alumni. Sebagai orang yang optimis, seperti dalam majalah Tarbawi, “Apapun Masa Lalu Kita, Tatap Tegak Masa Depan.”
Sekarang, dakwah Islam di SMA 1 mengalami perkembangan pesat. Bila kita bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tentu kondisi sekarang ini patut kita syukuri. Dukungan dari sekolah yang sangat besar, partisipasi karyawan yang semakin meningkat, siswa yang dimanis dan energik dan tentu back up maksimal dari alumni yang tergabung dalam KSAI Al Uswah menjadikan semakin semaraknya kegiatan ini. Sudah keempat kalinya secara resmi mentoring ini menjadi program sekolah, bahkan masuk penilaian mata pelajaran agama Islam. Selama itu pula, kita sadar masih banyak yang harus dibenahi. Masukan berharga dari guru, siswa (dan alumni sendiri) sangat kita harapkan untuk membangun SMA 1 yang sejuk dan Islami.
Seorang alumni angkatan ’98 pernah mengirim SMS; “Semoga kita dapat menyaksikan pembukaan mentoring ke-20 di tahun 2020 dengan lebih spektakuler…..” Sebuah harapan tinggi, namun realistis untuk dicapai. Tentunya hal itu menyemangati kita juga. Melihat betapa susahnya membangun mentoring ini. Mas Andri, Mas Adib, Mbak Ning dkk adalah generasi KSAI yang mampu meninggalkan hal yang mulia bagi kita semua. Dan konsep mentoring akan lebih melibatkan parisipasi aktif dari siswa kelas XI dan XII.
Kita sadar bahwa semangat ngaji harus ada. Di Universitas seluruh Indonesia (termasuk UGM, UI, ITB, Undip, UNS) juga ada lho program wajib mentoring, namanya aja yang beda yaitu AAI (Asistensi Agama Islam), koordinasinya pun sudah tingkat nasional. Dan beruntunglah yang sejak SMA sudah mengenal, tentu lebih mudah menyerap materi-materinya.
Perjalanan dakwah Islam, juga di SMA 1, penuh tantangan dan jalannya tidak mulus. Da’i-dainya harus menempuh jalan yang thulu’ut thariq (panjang jalannya), katsiratul ‘aqabat (banyak timpaannya) dan qillaturrijjal (sedikit pedukungnya). Nah, kita pun mengalami hal yang demikian.
Perubahan besar, kita mulai sejak angkatan 2002 ketika Rohis dipimpin oleh Akh Aldi (sekarang KU UGM). Banyak program-program Rohis yang segar dan menyejukkan. Kasio berjalan efektif, 1 komando dibawah koordinasi dan kontrol dari Rohis, semaraknya kajian kelas yang diisi oleh guru-guru dan kakak kelas, muncul Rohmad (Rohis Masuk Desa), buletin kelas bersaing mewacanakan Islam, banyak upgrading/daurah marhalah yang diselenggarakan untuk peningkatan kualitas da’i dan aktivis di sekolah. Sehingga semua sinergis mulai dari MPK, OSIS, Sie otonom maupun Rohis sendiri.
Di angkatan Rohis setelahnya, dalam agenda GIAT diadakan program sehari bersama Jilbab, serentak bersama sekolah di seluruh Jogja yang dimotori Jangkar Islam. Semua muslimah wajib mengenakan jilbab. Bahkan di SMA 1, ada SK dari Kepala Sekolah Bp. Bashori yang mewajibkan itu. Tapi cuma 1 hari lho! Tujuannya agar teman-teman yang belum berjilbab merasakan betapa enaknya berjilbab, sekaligus menggemakan syiar Islam. Alhamdulillah responnya bagus. Agak kikuk juga sih memakai pertama kalinya untuk bersekolah, terlihat dari akhwat yang seringnya megangin dan mbenerin tuh jilbab. Ada teman 2003 lainnya yang bilang “ternyata jilbab gak panas-panas banget ya!” ada juga yang ngomong “aduh aku jadi lebih cantik nih pake jilbab.” Untung ana cuma denger dari BaseCamp (lt.2 dulu kan di sampingnya ada cermin). Teman-teman yang notabene gaul abis di SMA, sekarang banyak yang berjilbab. Subhanallah. Sebagian berproses ketika SMA, sebagian lagi ketika masuk kuliah. Yah, itulah yang kita tanamkan, bukan paksaan lho, tapi kesadaran itu yang lebih penting. Dan ternyata sekarang ini baru dapat kita rasakan hasilnya. Jadi, sabar aja yah! Jangan terburu-buru. Be creative, not reactive!
Dulu belum ada mentoring lho! Di rohis angkatan ini pula bersama alumni mentoring mulai digulirkan untuk adik kelas. Temen-temen yang paling pantas menilai, apakah sejauh ini program-program yang digulirkan Rohis, OSIS, MPK, Sie Otonom dan yang lain (termasuk mentoring KSAI Al Uswah), efektif. Parameternya mudah kok!
Pertama, berbagai kegiatan justru membuat prestasi akademik kita melesat.
Kalo njeblok ada yang salah dengan pola belajar antum atau manajemen waktunya. Jangan sampai aktivis menjadikan organisasi sebagai kambing hitam. UI Jakarta patut dicontoh, walaupun seabrek punya kegiatan kampus maupun sering aksi di jalanan, aktivisnya mampu berprestasi. Bahkan di papan-papan pengumuman kampus dengan bangga dipasang, “aktivis yang berprestasi semester ini.” Misal si-Ali FKU IPnya 4, si-Bana FHI IP 3,9, si-Rizki FE IP 3,5 dst. Sehingga mahasiswa yang lain pun segan dan hormat dengan pengurus BEM dan Rohis kampus. Diajak beraktivitas ngaji maupun naik gunung, gak masalah. Mereka merasa nyaman dengan komunitas itu. Alumni Teladan pun banyak yang punya pengalaman dan prestasi membanggakan. Digali aja!
Kedua, semakin hormat dan sopan pada orang tua (termasuk bapak-ibu guru).
Nah kalo ada yang “ngaji” trus dirumah ada “gempa bumi lokal”, nah perlu ditelaah lagi materinya (jangan asal comot –dari manapun itu–) atau penerapan antum yang salah. Sering-seringlah menceritakan keadaan sekolah dan proses belajar ke ortu. Toh kalaupun ada masalah, pasti akan di-suport terus oleh ortu. Anak muda memang sangat idealis, orang tua tidak begitu, tapi lebih bijak. Selalu menjaga hubungan baik dengan orang tua adalah pesan Nabi juga kan! Sampai ada orang yang minta izin berjihad oleh Nabi, dilarang dan diminta kembali mengurus dan meperhatikan orang tuanya lebih dulu.
Ketiga, memberi kontribusi positif buat lingkungannya
Sangat disayangkan. Di sekolah, tidak ada yang tidak mengenalnya, sang ketua OSIS, Rohis, maupun pengurus (organisasi) yang lain. Ia begitu aktif di sekolah, tapi di kampung, mencari rumahnya saja sulit, hampir tidak ada tetangga yang mengenalnya. Padahal yang ditanyakan cuma selisih satu rumah dengan tempat tinggalnya. Nah lho …? Ketika melewati orang yang duduk tidak salam, bahkan senyum pun tidak. Wah mau jadi apa nanti? Padahal kita sekolah kan juga biar nantinya bisa mengabdi ke masyarakat. Tul kan? Aktiflah di Masjid kampung, ikuti acara yang diadakan masyarakat. Itulah sarana atau ladang kita beramal dan mengaplikasikan ilmu kita.
Nah, beberapa paramater di atas tentu sedikit dari sekian hal yang bisa mengukur sejauh mana perkembangan kita. Semoga harapan kita bahwa mentoring memberikan pengalaman yang tidak terlupakan bisa terwujud. Tentu pengalaman yang lebih mendekatkan kita pada Allah, bukan yang sebaliknya. Begitu juga dengan Rohis Al Uswah dab Rohis Kelas, Ayo terus berbenah! Let’s have movement!
Comments :
0 komentar to “The Memorable Experience (Bagian 2)”
Posting Komentar