KONFERENSI Kelautan Dunia atau World Ocean Conference (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, resmi dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemarin. Inilah konferensi dunia tentang laut yang digelar kembali setelah 27 tahun mati.
Sebagai tuan rumah dari konferensi yang diikuti delegasi dari 72 negara dan 11 badan internasional, Indonesia mengeluarkan dana cukup besar, yakni Rp380 miliar. Perinciannya, Rp330 miliar untuk membangun infrastruktur dan Rp30 miliar untuk penyelenggaraan acara. Dari pertemuan itu Indonesia berharap mendapatkan bantuan rehabilitasi karang sebesar US$250 juta.
Hajatan akbar WOC mestinya menjadi titik tolak bagi Indonesia untuk kembali ke laut. Inilah momentum paling strategis bagi bangsa ini untuk menjadikan laut sebagai bagian integral dari konsep ruang hidup kita. Langkah itu merupakan keniscayaan karena dua pertiga wilayah Nusantara adalah laut. Itu artinya, dua pertiga ruang hidup bangsa ini mestinya juga digantungkan di laut.
Namun, fakta berbicara sebaliknya. Kebijakan politik, ekonomi, dan pertahanan kita selama ini dihabiskan sepenuhnya untuk mengurusi wilayah daratan. Laut kita menjadi anak tiri, bahkan anak haram, yang dibiarkan merana. Tidak aneh kalau kemudian semboyan jalesveva jayamahe yang berarti 'justru di laut kita jaya' sering dipelesetkan menjadi 'justru di laut kita merana'.
Padahal, kalau kita menengok alur laut kepulauan Indonesia, negeri ini mestinya bisa mandiri secara ekonomi dari laut. Laut kita merupakan lalu lintas perdagangan antarnegara, bahkan antarbenua, yang seharusnya mampu mendatangkan pendapatan. Namun, kita membiarkan kapal-kapal mancanegara melenggang melintasi laut kita tanpa memberi manfaat apa-apa.
Kita hanya mampu menjadi penonton dari padatnya lalu lintas bisnis di laut kita. Kita hanya melongo menyaksikan laut kita menjadi tempat berlangsungnya transaksi gelap ekonomi.
Karena kita menyia-nyiakan laut, orang lainlah yang mengeruk keuntungan. Pencurian ikan, misalnya, telah membuat negeri ini merugi hingga sekitar Rp40 triliun per tahun.
Data Departemen Kelautan dan Perikanan 2005 menunjukkan dari 59 ribu kapal ikan yang beroperasi, hanya 1.650 unit yang memiliki izin. Dari lebih dari 1.000 kapal asing, hanya 540 unit yang memiliki lisensi. Lebih tragis lagi, kegiatan penangkapan juga dilakukan dengan menggunakan alat yang bersifat destruktif, seperti pukat ikan dan pukat udang. Semua itu dilakukan berulang-ulang tanpa mampu dicegah karena kita memang membiarkannya.
Namun, berharap terlalu banyak dari WOC sama artinya dengan menggantang asap. Forum internasional tersebut lebih banyak membicarakan strategisnya laut untuk menekan perubahan iklim. Hasil Deklarasi Kelautan Manado atau Manado Ocean Declarations diarahkan hanya untuk melengkapi kerangka konvensi PBB untuk perubahan iklim. Sebuah konvensi yang meletakkan isu kelautan dalam rezim baru yang mengglobal.
Tetapi, kita tetap bisa menjadikan WOC sebagai pelatuk baru untuk memperbaiki, menjaga, dan memberdayakan laut kita untuk kecemerlangan bangsa. Itu artinya kita menjadikan laut sebagai ruang hidup. Menjadikan laut sebagai denyut nadi dan satu tarikan napas bagi kejayaan bangsa.
Sumber: mediaindonesia.com
Sebagai tuan rumah dari konferensi yang diikuti delegasi dari 72 negara dan 11 badan internasional, Indonesia mengeluarkan dana cukup besar, yakni Rp380 miliar. Perinciannya, Rp330 miliar untuk membangun infrastruktur dan Rp30 miliar untuk penyelenggaraan acara. Dari pertemuan itu Indonesia berharap mendapatkan bantuan rehabilitasi karang sebesar US$250 juta.
Hajatan akbar WOC mestinya menjadi titik tolak bagi Indonesia untuk kembali ke laut. Inilah momentum paling strategis bagi bangsa ini untuk menjadikan laut sebagai bagian integral dari konsep ruang hidup kita. Langkah itu merupakan keniscayaan karena dua pertiga wilayah Nusantara adalah laut. Itu artinya, dua pertiga ruang hidup bangsa ini mestinya juga digantungkan di laut.
Namun, fakta berbicara sebaliknya. Kebijakan politik, ekonomi, dan pertahanan kita selama ini dihabiskan sepenuhnya untuk mengurusi wilayah daratan. Laut kita menjadi anak tiri, bahkan anak haram, yang dibiarkan merana. Tidak aneh kalau kemudian semboyan jalesveva jayamahe yang berarti 'justru di laut kita jaya' sering dipelesetkan menjadi 'justru di laut kita merana'.
Padahal, kalau kita menengok alur laut kepulauan Indonesia, negeri ini mestinya bisa mandiri secara ekonomi dari laut. Laut kita merupakan lalu lintas perdagangan antarnegara, bahkan antarbenua, yang seharusnya mampu mendatangkan pendapatan. Namun, kita membiarkan kapal-kapal mancanegara melenggang melintasi laut kita tanpa memberi manfaat apa-apa.
Kita hanya mampu menjadi penonton dari padatnya lalu lintas bisnis di laut kita. Kita hanya melongo menyaksikan laut kita menjadi tempat berlangsungnya transaksi gelap ekonomi.
Karena kita menyia-nyiakan laut, orang lainlah yang mengeruk keuntungan. Pencurian ikan, misalnya, telah membuat negeri ini merugi hingga sekitar Rp40 triliun per tahun.
Data Departemen Kelautan dan Perikanan 2005 menunjukkan dari 59 ribu kapal ikan yang beroperasi, hanya 1.650 unit yang memiliki izin. Dari lebih dari 1.000 kapal asing, hanya 540 unit yang memiliki lisensi. Lebih tragis lagi, kegiatan penangkapan juga dilakukan dengan menggunakan alat yang bersifat destruktif, seperti pukat ikan dan pukat udang. Semua itu dilakukan berulang-ulang tanpa mampu dicegah karena kita memang membiarkannya.
Namun, berharap terlalu banyak dari WOC sama artinya dengan menggantang asap. Forum internasional tersebut lebih banyak membicarakan strategisnya laut untuk menekan perubahan iklim. Hasil Deklarasi Kelautan Manado atau Manado Ocean Declarations diarahkan hanya untuk melengkapi kerangka konvensi PBB untuk perubahan iklim. Sebuah konvensi yang meletakkan isu kelautan dalam rezim baru yang mengglobal.
Tetapi, kita tetap bisa menjadikan WOC sebagai pelatuk baru untuk memperbaiki, menjaga, dan memberdayakan laut kita untuk kecemerlangan bangsa. Itu artinya kita menjadikan laut sebagai ruang hidup. Menjadikan laut sebagai denyut nadi dan satu tarikan napas bagi kejayaan bangsa.
Sumber: mediaindonesia.com
Comments :
0 komentar to “Menjadikan Laut sebagai Ruang Hidup”
Posting Komentar