Kutawaringin Kawasan Olahraga Terpadu


Headline

Jl. Raya Soreang-Cipatik KM. 5,8
Email: kutawaringin@gmail.com
Phone/Fax: +62 22 85873789

Kutawaringin

09 Juni 2009

Semangat Tertutup di Era Terbuka

SEMANGAT lama untuk menutup kebebasan berpendapat ternyata masih hidup di negeri ini. Itulah yang terjadi pada kasus Prita Mulyasari.

Perkara bermula dari keluhan Prita atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, Banten, melalui surat elektronik. Akan tetapi, akibatnya jauh sekali. Prita dituntut dan dipenjarakan dengan pasal penghinaan.

Dampaknya pun jauh sekali, yakni terganggunya rasa keadilan publik. Tak hanya itu, kasus tersebut bahkan menyayat perasaan karena seorang ibu harus berpisah dengan anak-anaknya. Tak tanggung-tanggung, nasib Prita itu menyebabkan dua calon presiden, Jusuf Kalla dan Megawati, turun tangan. Prita kemudian dibebaskan setelah kunjungan Mega ke penjara.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa polisi dan jaksa menerapkan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kasus Prita?

Pasal 310 KUHP adalah pasal karet yang gampang digunakan rezim yang berkuasa untuk menghajar kalangan yang menyatakan pendapatnya kepada umum dengan tuduhan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang atau lembaga. Itulah pasal buatan kolonial Belanda yang terus dipertahankan hingga sekarang.

Melindungi nama baik, reputasi, dan integritas merupakan sebuah keharusan. Karena itu, adalah sah bila ada pihak-pihak yang merasa terganggu kemudian mencari keadilan dengan membawanya ke ranah hukum.

Akan tetapi, bukankah warga juga memiliki hak untuk menyatakan pendapat menyangkut haknya sebagai konsumen, lebih khusus lagi, dalam kasus Prita ini, haknya sebagai pasien?
Prita dalam kasusnya tidak boleh dipandang hanya sebagai kasus individual.

Pelayanan rumah sakit harus bisa dipandang sebagai pelayanan untuk kepentingan umum, bukan semata kepentingan personal. Apa yang dialami Prita dapat terjadi kepada siapa pun dalam kedudukannya sebagai pasien.
Oleh karena itu, keluhan Prita harus dapat dipandang juga demi kepentingan orang banyak. Dengan demikian, penggunaan Pasal 310 ayat (1) dan (2) gugur karena terpenuhinya ayat (3) yang mengatakan 'tidak merupakan pencemaran jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum....'

Pasal 310 itu seharusnya tidak dipakai lagi. Pasal itu seharusnya sudah dicabut. Sebab penggunaan pasal itu dapat membunuh hak setiap orang untuk mengutarakan pendapat. Orang akan takut menyampaikan keluhan secara tertulis kepada publik karena bisa dipandang melakukan pencemaran nama baik.

Orang akan takut mengkritik pelayanan publik di hadapan khalayak karena bisa diseret pasal penghinaan. Yang lebih disesalkan adalah bila kelak para hakim juga mengabulkan tuntutan jaksa kasus Prita dan memenangkan pihak penggugat.

Karena itu, untuk mencegah terjadinya peristiwa serupa pada kasus yang berbeda, Mahkamah Agung dan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) perlu menggalang upaya untuk menghapus pasal karet tersebut.

Menjaga nama baik, reputasi, dan kredibilitas harus dapat dilakukan tanpa menghilangkan hak orang untuk bebas berpendapat dan berekspresi. Sebab semua itu dijamin konstitusi. Para hakim juga harus ekstra cermat dalam mengadili kasus-kasus pencemaran nama baik.

Terkait dengan penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronika (ITE), perlu dikaji ulang apakah UU yang diberlakukan pada era keterbukaan informasi dan teknologi itu sudah memiliki semangat yang benar-benar sesuai dengan perkembangan zaman.

Bila belum, sudah seharusnya UU tersebut direvisi. Jangan sampai ada UU yang mengatur kebebasan pada era keterbukaan ini justru dibuat dengan semangat ketertutupan. Itulah pekerjaan besar yang menanti para pembuat undang-undang dan aparat penegak hukum.

Sumber : mediaindonesia.com, Selasa, 09 Juni 2009 00:01 WIB

Comments :

0 komentar to “Semangat Tertutup di Era Terbuka”

Posting Komentar

Pengikut

Sponsor

 

Copyright © 2009 by Kecamatan Kutawaringin Powered By Blogger Design by ET