KEPEMIMPINAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini berada dalam kondisi darurat. Hal itu karena tiga dari lima pimpinan komisi superbodi itu berurusan dengan penegak hukum lainnya.
Ketua KPK Antasari Azhar dinonaktifkan setelah yang bersangkutan disangkakan terlibat kasus pembunuhan. Dua Wakil Ketua KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto sudah pula ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang terkait dengan cekal dan pencabutan cekal atas nama Anggoro Wijaya dan Joko Tjandra. Dua orang yang dicekal itu adalah koruptor yang kini menjadi buron KPK.
Sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya. Dengan demikian, tanggung jawab menjalankan roda kegiatan
KPK kini berada di atas pundak dua Wakil Ketua KPK yaitu Haryono Umar dan M Jasin.
Akan tetapi, undang-undang menggariskan secara eksplisit pimpinan KPK bekerja secara kolektif.
Agaknya dengan dasar itulah antara lain presiden kemudian memandang bahwa kondisi KPK telah memenuhi apa yang disebut konstitusi 'dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa' sehingga 'presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang' (perppu).
Perppu itu sudah disusun, tinggal diumumkan. Perppu itu disebut-sebut hanya menambahkan pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang kurang lebih isinya berbunyi 'Presiden memilih pelaksana tugas pimpinan KPK ketika terjadi kekosongan tiga orang pimpinan KPK atau lebih'. Perppu itulah yang kemudian menjadi payung hukum bagi penunjukan langsung pelaksana tugas pimpinan KPK oleh presiden.
Harus tegas kita katakan bahwa perppu itu adalah obat dan sekaligus racun. Ia obat bila memang maksud hati presiden untuk memperkuat KPK dalam memberantas korupsi. Bukankah kinerja KPK yang baik dalam memberantas korupsi itu sudah dijadikan alat kampanye dalam Pemilihan Presiden 2009? Karena itulah, perppu itu bertujuan menyelamatkan nyawa KPK sehingga perppu menjadi obat penyambung nyawa.
Sebaliknya, meski bersifat sementara, penunjukan langsung pimpinan KPK oleh presiden jelas dapat memandulkan KPK. Perppu itu mengingkari hakikat keberadaan pimpinan KPK yang mestinya dipilih oleh DPR. Presiden hanya berhak mengusulkan calon, bukan menentukan. Dengan perppu itu, KPK sebagai lembaga independen yang lepas dari kekuasaan presiden selaku eksekutif berpeluang menjadi lembaga yang dapat dikooptasi oleh presiden.
Harus disadari bahwa pimpinan KPK yang ditunjuk langsung oleh presiden bukan mustahil berusaha untuk membalas budi sehingga melemahkan upaya memerangi korupsi. Inilah perppu yang menjadi racun.
Mestinya, presiden tidak mengeluarkan perppu untuk melegalkan penunjukan langsung pimpinan KPK. Yang diperlukan adalah perppu pembentukan panitia seleksi pimpinan KPK dengan batas waktu kerja yang dipercepat sehingga misalnya dalam tempo sebulan DPR telah memilih tiga pelaksana tugas pimpinan KPK.
Selain itu, pemerintah harus menjelaskan kepada publik perihal pelanggaran wewenang yang dijadikan dasar oleh polisi dalam penetapan tersangka dua pimpinan KPK. Pelanggaran wewenang jelas masuk dalam domain administrasi negara. Bukan tindak pidana yang menjadi domain polisi.
Perppu jangan sampai hanya berfungsi untuk melegitimasi kriminalisasi kewenangan KPK. Jika itu yang terjadi, perppu hanyalah racun.
Ketua KPK Antasari Azhar dinonaktifkan setelah yang bersangkutan disangkakan terlibat kasus pembunuhan. Dua Wakil Ketua KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto sudah pula ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang terkait dengan cekal dan pencabutan cekal atas nama Anggoro Wijaya dan Joko Tjandra. Dua orang yang dicekal itu adalah koruptor yang kini menjadi buron KPK.
Sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya. Dengan demikian, tanggung jawab menjalankan roda kegiatan
KPK kini berada di atas pundak dua Wakil Ketua KPK yaitu Haryono Umar dan M Jasin.
Akan tetapi, undang-undang menggariskan secara eksplisit pimpinan KPK bekerja secara kolektif.
Agaknya dengan dasar itulah antara lain presiden kemudian memandang bahwa kondisi KPK telah memenuhi apa yang disebut konstitusi 'dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa' sehingga 'presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang' (perppu).
Perppu itu sudah disusun, tinggal diumumkan. Perppu itu disebut-sebut hanya menambahkan pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang kurang lebih isinya berbunyi 'Presiden memilih pelaksana tugas pimpinan KPK ketika terjadi kekosongan tiga orang pimpinan KPK atau lebih'. Perppu itulah yang kemudian menjadi payung hukum bagi penunjukan langsung pelaksana tugas pimpinan KPK oleh presiden.
Harus tegas kita katakan bahwa perppu itu adalah obat dan sekaligus racun. Ia obat bila memang maksud hati presiden untuk memperkuat KPK dalam memberantas korupsi. Bukankah kinerja KPK yang baik dalam memberantas korupsi itu sudah dijadikan alat kampanye dalam Pemilihan Presiden 2009? Karena itulah, perppu itu bertujuan menyelamatkan nyawa KPK sehingga perppu menjadi obat penyambung nyawa.
Sebaliknya, meski bersifat sementara, penunjukan langsung pimpinan KPK oleh presiden jelas dapat memandulkan KPK. Perppu itu mengingkari hakikat keberadaan pimpinan KPK yang mestinya dipilih oleh DPR. Presiden hanya berhak mengusulkan calon, bukan menentukan. Dengan perppu itu, KPK sebagai lembaga independen yang lepas dari kekuasaan presiden selaku eksekutif berpeluang menjadi lembaga yang dapat dikooptasi oleh presiden.
Harus disadari bahwa pimpinan KPK yang ditunjuk langsung oleh presiden bukan mustahil berusaha untuk membalas budi sehingga melemahkan upaya memerangi korupsi. Inilah perppu yang menjadi racun.
Mestinya, presiden tidak mengeluarkan perppu untuk melegalkan penunjukan langsung pimpinan KPK. Yang diperlukan adalah perppu pembentukan panitia seleksi pimpinan KPK dengan batas waktu kerja yang dipercepat sehingga misalnya dalam tempo sebulan DPR telah memilih tiga pelaksana tugas pimpinan KPK.
Selain itu, pemerintah harus menjelaskan kepada publik perihal pelanggaran wewenang yang dijadikan dasar oleh polisi dalam penetapan tersangka dua pimpinan KPK. Pelanggaran wewenang jelas masuk dalam domain administrasi negara. Bukan tindak pidana yang menjadi domain polisi.
Perppu jangan sampai hanya berfungsi untuk melegitimasi kriminalisasi kewenangan KPK. Jika itu yang terjadi, perppu hanyalah racun.
Comments :
0 komentar to “Perppu KPK Obat dan Racun”
Posting Komentar